program kerja Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN-T) dengan tajuk “Biochar Limbah Jahe: Inovasi Zero Waste untuk Pertanian Ramah Lingkungan”
PEMALANG - Desa Klareyan, 24 Juli 2025 — Dalam semangat pengabdian yang berpijak pada ilmu dan aksi nyata, saya, Ulya Agassi, mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Matematika Universitas Diponegoro, menjalankan salah satu program kerja Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN-T) dengan tajuk “Biochar Limbah Jahe: Inovasi Zero Waste untuk Pertanian Ramah Lingkungan”. Program ini dilaksanakan pada tanggal 24 Juli 2025, bertempat di rumah Bapak Eko Siswanto, seorang pelaku UMKM pengolahan jahe yang menjadi mitra lokal dalam kegiatan ini. Kegiatan berlangsung dalam skala kecil, dengan melibatkan mitra dan tim KKN tanpa keterlibatan langsung banyak warga, karena bersifat demonstratif dan berskala terbatas.
Berbeda dari banyak desa lain yang memiliki lahan jahe luas atau sentra pertanian tanaman herbal, Desa Klareyan bukanlah desa dengan produksi jahe secara masif. Meskipun demikian, adanya UMKM pengolahan jahe milik Pak Eko Siswanto membuka peluang pemanfaatan limbah produksi rumah tangga, seperti ampas dan kulit jahe. Limbah ini sebelumnya hanya dibuang atau dibiarkan menumpuk di sekitar tempat produksi, tanpa pemanfaatan lanjutan. Di sinilah program “Biochar Limbah Jahe” mengambil peran sebagai solusi yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga aplikatif dan relevan dengan kondisi lapangan.
Limbah organik jahe memiliki kandungan lignoselulosa dan senyawa karbon yang cukup tinggi, menjadikannya bahan baku potensial untuk diolah menjadi biochar atau arang hayati. Biochar diketahui mampu meningkatkan kualitas tanah, mempertahankan kelembaban, dan menyerap unsur hara. Dalam skala kecil seperti milik Pak Eko, konversi limbah menjadi biochar juga dapat mengurangi volume limbah harian sekaligus menambah nilai guna bagi limbah yang selama ini dianggap tidak bermanfaat.
Kegiatan dimulai sejak sore hari dengan persiapan alat-alat sederhana untuk proses pirolisis, seperti drum logam bekas, tempat bakar, penjepit besi, serta dan masker sebagai pelindung diri. Saya dan Pak Eko secara langsung mengklasifikasikan limbah jahe kering yang telah disiapkan sehari sebelumnya. Limbah kemudian dimasukkan ke dalam drum pirolisis yang ditutup rapat dan dipanaskan selama ±2 jam dalam kondisi semi anaerob. Proses ini menghasilkan arang yang kemudian dihaluskan menjadi biochar siap pakai.
Sebelum praktik, saya menjelaskan secara singkat tentang manfaat dan prinsip kerja biochar kepada Pak Eko dan anggota keluarganya yang turut membantu. Karena kegiatan bersifat internal dan tidak berbentuk pelatihan umum untuk masyarakat, penyampaian informasi dilakukan dengan sederhana, menggunakan bahasa sehari-hari namun tetap berdasarkan prinsip ilmiah. Saya menjelaskan bagaimana porositas biochar memungkinkan tanah menyerap air lebih banyak, serta bagaimana biochar bisa memperbaiki struktur tanah yang padat atau miskin hara.
Proses pembuatan biochar berlangsung lancar. Dari sekitar 1/2 kilogram limbah jahe, dihasilkan kurang lebih 80 gram biochar kering siap pakai. Hasil ini kemudian dicampurkan dengan kompos dan tanah dalam polybag kecil untuk melihat efek awalnya terhadap pertumbuhan tanaman yang telah ditanam beberapa hari sebelumnya. Ini bukan percobaan berskala eksperimen laboratorium, tetapi sebuah simulasi sederhana untuk memperlihatkan bahwa limbah rumah tangga bisa menjadi input positif bagi pertanian rumah tangga atau urban farming skala kecil.
Karena keterbatasan lahan dan tidak adanya perkebunan jahe di Desa Klareyan, pendekatan kegiatan memang lebih bersifat edukatif dan simbolik ketimbang intervensi besar pada sektor pertanian desa. Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa kegiatan seperti ini justru menunjukkan fleksibilitas dan kepekaan mahasiswa dalam menyesuaikan program kerja dengan kondisi nyata di lapangan. Alih-alih memaksakan skema kerja besar-besaran, kegiatan dilakukan secara kontekstual dan sesuai dengan skala permasalahan yang dihadapi oleh mitra.
Setelah proses selesai, biochar yang dihasilkan dikemas dalam standing pouch dan disimpan untuk uji coba lanjutan. Saya membuat video mengenai “Langkah Mudah Membuat Biochar dari Limbah Jahe” yang saya susun sendiri, berisi penjelasan langkah-langkah pembuatan biochar, manfaatnya, dan tips aplikasinya ke media tanam yang kemudian dapat diakses melalui qr code pada label produk. Meskipun Pak Eko belum berencana memproduksi biochar dalam skala lebih besar, ia mengaku bahwa kegiatan ini membuka perspektif baru tentang pengelolaan limbah yang selama ini dianggap tidak penting.
Dosen Pembimbing Lapangan, Dr. dr. Siti Fatimah, M.Kes. dan Dr. Ir. Fahmi Arifan, S.T., M.Eng., IPM, yang mendampingi proses kegiatan sejak perencanaan hingga pelaporan, memberikan arahan agar program ini tetap didokumentasikan dan dicatat sebagai bentuk kontribusi saintifik meski berskala kecil. Beliau menekankan bahwa kegiatan semacam ini menunjukkan semangat zero waste yang layak didorong, apalagi jika melibatkan mitra lokal yang sudah memiliki bahan baku secara kontinu seperti Pak Eko.
Saya mencatat bahwa kegiatan ini tidak serta-merta memberi dampak besar pada tingkat desa, namun tetap memberikan kontribusi berarti di tingkat rumah tangga produksi. Kegiatan ini juga menunjukkan bagaimana ilmu biologi dapat diterapkan secara sederhana untuk menjawab persoalan lingkungan. Dari kegiatan ini saya belajar bahwa skala kecil bukanlah kendala jika dilakukan dengan pendekatan tepat dan dokumentasi yang baik.
Pengetahuan saya mengenai proses karbonisasi, struktur sel lignin dan selulosa pada rimpang, serta pengaruh biochar terhadap kualitas tanah menjadi lebih aplikatif. Bahkan saya mendapatkan beberapa insight tambahan, seperti perlunya menjaga suhu saat pirolisis agar biochar tidak rusak secara struktural, dan pentingnya melakukan uji pH sebelum diaplikasikan ke tanah agar tidak menimbulkan efek samping. Hal ini menunjukkan bahwa pengabdian masyarakat juga bisa menjadi sarana pembelajaran mendalam bagi mahasiswa sendiri.
Setelah kegiatan selesai, dokumentasi dalam bentuk foto dan video saya kumpulkan sebagai bahan laporan dan diserahkan kepada dosen pembimbing serta mitra. Saya juga membuat catatan reflektif sebagai bagian dari evaluasi diri atas pelaksanaan program. Meski tidak dihadiri banyak peserta, saya yakin bahwa satu langkah kecil ini dapat berkembang lebih jauh di kemudian hari, baik melalui kegiatan pasca-KKN, pelatihan lanjutan, maupun artikel ilmiah populer.
Kegiatan ini juga menjadi contoh bahwa tidak semua program KKN harus melibatkan banyak orang untuk memberikan nilai. Dalam konteks yang tepat, bahkan kerja sama antara satu mahasiswa dan satu mitra pun dapat menghadirkan dampak jika dijalankan dengan niat dan kejelasan tujuan. Saya bersyukur telah diberi kesempatan untuk menjalankan program ini dengan dukungan penuh dari Dosen Pembimbing Lapangan dan keterbukaan mitra lokal.
Dengan ini, saya menyatakan bahwa kegiatan KKN dengan judul “Biochar Limbah Jahe: Inovasi Zero Waste untuk Pertanian Ramah Lingkungan” telah selesai dilaksanakan pada tanggal 24 Juli 2025, berlokasi di rumah mitra UMKM Pak Eko Siswanto di Desa Klareyan, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang. Kegiatan berlangsung dengan lancar dan mendapat dukungan dari DPL Dr. dr. Siti Fatimah, M.Kes dan Dr. Ir. Fahmi Arifan, S.T., M.Eng., IPM. serta mitra pelaksana. Semoga hasil dari program ini dapat dikembangkan lebih lanjut dan menjadi inspirasi bagi kegiatan pengabdian lainnya di masa mendatang.
Meskipun ruang lingkup kegiatan ini tidak besar dan hanya melibatkan satu mitra, saya menyadari bahwa inisiatif kecil semacam ini bisa memiliki efek domino jika dikembangkan secara berkesinambungan. Dalam diskusi ringan usai praktik biochar, saya dan Pak Eko membahas kemungkinan memperluas pemanfaatan limbah organik lain, seperti kulit singkong dari warga sekitar, daun kering, atau limbah dapur lainnya. Dengan alat sederhana, proses pirolisis bisa dijalankan dengan efisien dan menghasilkan biochar yang sesuai untuk lahan sempit, seperti kebun belakang rumah atau media tanam pot.
Saya juga mulai membayangkan, bagaimana jika program semacam ini dikembangkan lebih lanjut dalam bentuk pelatihan bagi siswa sekolah menengah di desa? Selain memberikan edukasi lingkungan, siswa juga dapat memahami pentingnya pengelolaan limbah dan ekosistem pertanian berkelanjutan. Konsep edukasi ekologis berbasis lokal ini menjadi sangat relevan di tengah tantangan perubahan iklim dan degradasi lingkungan yang terus meningkat. Melalui pendekatan sederhana, nilai-nilai sains, ekologi, dan tanggung jawab sosial dapat diajarkan sejak dini.
Refleksi pribadi saya sebagai mahasiswa Biologi juga memperkaya makna dari pelaksanaan program ini. Di kampus, saya mempelajari struktur kimia lignin, reaksi pirolisis, dan pengaruh senyawa organik terhadap struktur tanah. Namun dalam pelaksanaan KKN, saya benar-benar melihat bagaimana ilmu tersebut diaktualisasikan dalam konteks sosial yang nyata. Saya belajar untuk tidak hanya berpikir dalam ranah laboratorium, tetapi juga bagaimana menyampaikan ilmu kepada mitra non-akademik secara komunikatif dan praktis. Ini menjadi pengalaman yang memperluas cara pandang saya sebagai ilmuwan muda.
Selama perbincangan dengan Dosen Pembimbing Lapangan, Dr. Siti Fatimah serta Dr. Ir. Fahmi Arifan, S.T., M.Eng., IPM, saya mendapat arahan untuk tidak hanya fokus pada aspek produksi, tetapi juga pentingnya pendokumentasian secara sistematis. Beliau menyarankan agar kegiatan ini didokumentasikan dalam bentuk foto, video, dan artikel populer agar bisa disebarluaskan kepada masyarakat lebih luas, bahkan di luar Desa Klareyan. Ini membuka wawasan saya bahwa pengabdian tidak hanya selesai di lokasi, tetapi bisa diperluas jangkauannya melalui diseminasi informasi berbasis data.
Setelah kegiatan, saya menyusun rencana lanjutan untuk mengevaluasi efek biochar terhadap pertumbuhan tanaman dalam jangka pendek. Meskipun ini belum bisa dikatakan sebagai hasil ilmiah, tetapi memberi sinyal awal yang positif mengenai potensi biochar dari limbah jahe.
Kegiatan ini juga membangun hubungan baik antara saya sebagai mahasiswa dan mitra pelaksana. Pak Eko menyampaikan bahwa sebelumnya ia tidak pernah terpikir limbah jahe bisa dimanfaatkan. “Biasanya saya buang saja ke belakang rumah. Kalau banyak, ya dibakar,” ujarnya. Setelah praktik ini, ia mengatakan akan mencoba menampung limbah secara berkala dan mencobanya dalam skala kecil di kebun miliknya. Ia bahkan meminta bantuan untuk membuat stiker label sederhana jika ingin menjual biochar ke tetangga yang menanam bunga hias.
Salah satu hal yang juga saya pelajari adalah pentingnya adaptasi dalam merancang program kerja. Rencana awal saya sebenarnya melibatkan kegiatan dengan kelompok tani, namun karena keterbatasan waktu dan kondisi desa yang tidak memiliki kebun jahe secara luas, maka pendekatan program harus saya sesuaikan. Hal ini mengajarkan saya untuk fleksibel, realistis, dan tetap menjaga esensi dari tujuan program. Saya memahami bahwa pengabdian masyarakat harus berpijak pada kebutuhan dan potensi riil, bukan hanya pada asumsi yang dibawa dari kampus.
Di sisi lain, saya juga melihat bahwa kegiatan ini membuka peluang kolaborasi lintas sektor. Dengan melibatkan UMKM, pendekatan inovasi ini bisa menjadi bagian dari pengembangan usaha lokal. Misalnya, biochar bisa menjadi salah satu produk sampingan dari produksi jahe, sehingga menciptakan nilai tambah ekonomi. Dalam diskusi lanjutan, saya menyarankan kepada Pak Eko agar membuat paket edukasi biochar dalam bentuk video singkat untuk disebarkan di media sosial. Hal ini selain menarik perhatian konsumen, juga memperkuat branding usaha mereka sebagai usaha yang peduli lingkungan.
Saya berharap dengan adanya pemantauan, kegiatan ini tidak berhenti sebagai proyek sesaat, tetapi menjadi kebiasaan baru dalam proses produksi sehari-hari.
Sebagai tambahan, saya membuat desain label sederhana bertuliskan “Biochar Zingkara– Zingiber Kara (karbon)” yang bisa digunakan jika suatu saat Pak Eko ingin mengemas biochar dalam bentuk produk edukatif. Saya juga merekomendasikan agar mitra mencoba mencampur biochar dengan pupuk kompos untuk membuat media tanam organik yang lebih kaya unsur hara, sehingga dapat dipasarkan ke kalangan penghobi tanaman atau pemilik toko bibit lokal.
Pada akhirnya, saya menyadari bahwa kegiatan ini, walau sederhana dan terbatas pada satu lokasi kecil, telah memberikan pelajaran besar bagi saya tentang arti inovasi yang membumi. Inovasi bukan selalu tentang teknologi canggih, tetapi tentang keberanian untuk mencoba hal baru dari sesuatu yang tampaknya sepele. Dan dalam konteks KKN, inovasi ini menjadi jembatan antara ilmu di bangku kuliah dan kebutuhan nyata masyarakat.
Kegiatan KKN ini juga memberi ruang reflektif untuk saya memaknai kembali posisi mahasiswa sebagai agen perubahan. Bahwa pengabdian bukan sekadar menyelesaikan tugas kuliah atau memenuhi SKS, tetapi wujud tanggung jawab moral terhadap masyarakat yang masih jauh dari akses terhadap informasi ilmiah. Dengan pendekatan yang rendah hati dan komunikasi yang terbuka, saya percaya ilmu pengetahuan bisa benar-benar memberdayakan.
Dengan segala dinamika dan penyesuaian yang saya lakukan, saya menyelesaikan program kerja ini dengan penuh rasa syukur dan harapan. Saya bersyukur diberi kesempatan untuk melaksanakan kegiatan ini secara langsung di lapangan, mendapat mitra yang kooperatif, dosen pembimbing yang suportif, serta suasana desa yang mendukung. Saya juga berharap kegiatan ini akan menjadi inspirasi kecil bagi mahasiswa lain untuk terus membawa ilmu mereka ke tengah masyarakat.
Sebagai penutup, kegiatan KKN yang saya laksanakan di Desa Klareyan melalui program “Biochar Limbah Jahe: Inovasi Zero Waste untuk Pertanian Ramah Lingkungan” memberikan pengalaman yang sangat berharga, baik secara keilmuan maupun secara sosial. Melalui kegiatan ini, saya belajar bahwa pengabdian tidak selalu harus berskala besar dan melibatkan banyak orang untuk bisa berdampak. Justru dari proses kecil, dari interaksi dengan satu mitra UMKM seperti Pak Eko, banyak hal bermakna dapat diwujudkan. Saya menyadari bahwa pendekatan berbasis ilmu harus selalu disesuaikan dengan kondisi lapangan dan kebutuhan riil masyarakat. Saya juga semakin memahami bahwa kolaborasi, komunikasi efektif, dan rasa kepemilikan atas program menjadi kunci keberhasilan pengabdian masyarakat.
Saya berharap kegiatan ini tidak hanya berhenti sebagai dokumentasi KKN semata, tetapi bisa terus berlanjut dan dikembangkan lebih luas, baik oleh mitra, mahasiswa lain, maupun masyarakat umum. Pengelolaan limbah jahe menjadi biochar bisa menjadi contoh kecil namun inspiratif bagi desa-desa lain yang ingin menerapkan prinsip zero waste secara praktis. Semoga kegiatan ini menjadi awal dari gerakan pertanian ramah lingkungan berbasis inovasi lokal, serta menjadi sumbangsih kecil saya bagi desa dan alam yang kita cintai bersama. (Eko B Art).
Comments
Post a Comment