PERMATA: Inovasi Permen Jahe Matematika Anak yang Lahir dari Desa Klareyan

PEMALANG -Adalah Imailda Putri Adiasti, mahasiswa Fakultas Sains dan Matematika, Program Studi Matematika, Universitas Diponegoro, Dr. Siti Fatimah, M.Kes.,Luthfansyah Mohammad,A.Md.,S.Tr.T.,M.T.,Yusuf Ma’rifat Fajar Azis, S.T.,M.T, tengah menjalani Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN-T) di Desa Klareyan, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang. Ini bukan sekadar program wajib kampus, melainkan kesempatan berharga untuk memahami kehidupan masyarakat desa secara langsung Desa ini bukanlah sentra penghasil jahe, tetapi memiliki pelaku usaha yang sudah lama mengolah jahe menjadi minuman dan beberapa produk turunan. Salah satunya adalah UMKM Jahe milik Bapak Eko, yang cukup dikenal warga sekitar.
Sejak awal penempatan KKN-T, saya mencoba mengamati potensi desa dari sudut pandang bidang saya, matematika, sekaligus melihat peluang inovasi produk yang bisa dikembangkan bersama masyarakat. Saya tahu, program KKN-T yang sukses bukan hanya menyelesaikan daftar kegiatan, tetapi juga meninggalkan sesuatu yang bermanfaat dan berkelanjutan bagi masyarakat. 
Dari situlah saya mulai melakukan observasi sederhana terhadap usaha dan kebiasaan konsumsi masyarakat desa. Saya menemukan satu fakta menarik, yaitu jahe di desa ini memang sering diolah menjadi minuman, tetapi konsumen utamanya adalah orang dewasa. Anak-anak justru jarang sekali menyentuhnya, bahkan banyak yang mengernyit saat mencium aroma jahe. Sebagian mengatakan rasanya “pedas” atau “panas di lidah”.
Dari situlah muncul pertanyaan di benak saya, bagaimana caranya membuat jahe menjadi sesuatu yang disukai anak-anak? Selama ini, jahe sering identik dengan rasa yang kuat, sedikit pedas, dan lebih banyak dikonsumsi orang dewasa. Padahal, kandungan antioksidan, efek menghangatkan tubuh, dan manfaatnya untuk daya tahan tubuh sangatlah sayang jika dilewatkan oleh generasi muda. Sayangnya, rasa pedas dan aroma khas jahe kerap membuat anak-anak enggan mencobanya. Hal inilah yang memicu saya untuk mulai mencari cara mengolah jahe menjadi produk yang lebih ramah anak, mulai dari penyesuaian rasa, pengurangan tingkat kepedasan, hingga menambahkan elemen manis yang disukai anak-anak.
Saya pun membayangkan olahan jahe yang bukan hanya enak di lidah, tetapi juga menarik di mata. Tampilan warna yang cerah, bentuk yang lucu, dan kemasan yang ceria dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak untuk mau mencicipinya. Tidak hanya itu, konsepnya juga harus dekat dengan keseharian mereka, misalnya dikaitkan dengan tokoh kartun favorit atau dikemas dalam bentuk camilan ringan yang mudah dibawa. Dengan begitu, jahe tidak lagi dianggap sebagai “minuman orang tua” atau “obat” yang hanya diminum saat sakit, tetapi menjadi bagian dari gaya hidup sehat mereka sejak dini.
Sebagai mahasiswa matematika, saya terbiasa berpikir dalam pola, bentuk, dan simbol. Angka bagi saya bukan hanya sekadar lambang, melainkan bahasa universal yang dapat menyampaikan pesan secara unik dan kreatif. Dalam keseharian, saya sering menemukan peluang untuk menghubungkan dunia matematika dengan kehidupan nyata, termasuk pada hal-hal yang tampaknya sederhana seperti makanan dan minuman. Dari kebiasaan inilah muncul sebuah ide kreatif: mengolah jahe menjadi permen berbentuk angka.
Ide ini bukan sekadar menciptakan camilan baru, tetapi menghadirkan media pembelajaran yang menyenangkan bagi anak-anak. Melalui permen berbentuk angka, mereka dapat mengenal bentuk numerik sejak dini, sekaligus menikmati rasa manis yang sehat dari jahe. Dengan sentuhan kreativitas, produk ini bisa menjadi jembatan antara edukasi dan kesehatan, sehingga anak-anak tidak hanya mendapatkan kenikmatan rasa, tetapi juga pengetahuan yang melekat melalui pengalaman bermain sambil belajar.
Permen jahe berbentuk angka ini akan menghadirkan pengalaman yang berbeda dan unik bagi anak-anak. Mereka tidak hanya menikmati rasa manis yang menyehatkan, tetapi juga berinteraksi langsung dengan bentuk-bentuk angka dari 0 hingga 9, sehingga anak-anak dapat menyusunnya menjadi bentuk permainan matematika kecil. Dengan begitu, mereka belajar mengenal angka, mengasah logika, dan mempraktikkan hitungan sederhana sambil tetap merasa sedang bermain.
Warna-warna cerah yang digunakan pada setiap bentuk angka akan menjadi daya tarik visual yang kuat. Anak-anak cenderung tertarik pada warna yang kontras dan ceria, sehingga keinginan untuk mencoba permen ini semakin tinggi. Selain itu, tekstur permen yang pecah di mulut dapat membuat pengalaman mengunyah menjadi lebih menyenangkan. Momen sederhana seperti mengonsumsi permen pun berubah menjadi kesempatan edukasi yang menyenangkan, interaktif, dan bermanfaat, tanpa mereka sadari sedang belajar sambil menikmati camilan sehat.
Lebih dari itu, konsep ini juga memberikan nilai tambah bagi para orang tua. Mereka tidak hanya memberikan camilan yang aman dan menyehatkan untuk anak, tetapi juga secara tidak langsung mengajak anak berlatih numerasi sejak dini. Jahe yang biasanya dihindari anak-anak akan berubah citranya menjadi sesuatu yang lucu, menarik, dan penuh warna. Ini adalah kombinasi yang jarang ditemui, manfaat kesehatan dari bahan alami dan stimulasi kognitif dari bentuk angka.

Dari ide tersebut, lahirlah sebuah program kerja multidisiplin 1 yang saya beri nama PERMATA, singkatan dari Permen Jahe Matematika Anak. Nama ini saya pilih bukan hanya karena terdengar menarik, tetapi juga karena kata “permata” identik dengan sesuatu yang berharga, indah, dan layak dijaga. Filosofi ini sejalan dengan tujuan saya: menghadirkan sebuah produk yang tidak hanya menjadi camilan manis, tetapi juga hadiah kecil yang penuh manfaat bagi perkembangan anak-anak. Saya ingin PERMATA menjadi simbol dari kehangatan jahe, keceriaan belajar matematika, dan kreativitas yang lahir dari kolaborasi lintas bidang.
Selain itu, saya melihat potensi besar bagi PERMATA untuk memperkaya variasi produk UMKM setempat. Dengan menghadirkan permen jahe dalam bentuk dan konsep yang unik, para pelaku usaha lokal bisa mendapatkan inspirasi baru untuk mengembangkan produk mereka. Inovasi ini juga membuka peluang kolaborasi antara pelaku UMKM, pendidik, dan kreator desain kemasan, sehingga produk yang dihasilkan tidak hanya lezat dan menyehatkan, tetapi juga memiliki nilai jual tinggi di pasaran. Dengan kata lain, PERMATA bukan sekadar ide kreatif, tetapi juga upaya nyata untuk menggabungkan manfaat kesehatan, edukasi, dan pemberdayaan ekonomi lokal dalam satu kemasan yang menarik.
Keunikan PERMATA terletak pada bahan dan desainnya. Saya memadukan jahe, pandan, dan vanili, tiga bahan yang menghasilkan kombinasi rasa hangat, aroma segar, dan wangi manis yang lembut. Bentuk angka 0 sampai 9 dipilih bukan sekadar untuk estetika, tetapi sebagai sarana belajar. Warna merah dan hijau yang cerah membuat permen ini tampak menarik di mata anak-anak. Merah melambangkan semangat dan keceriaan, sedangkan hijau memberi kesan alami dan menenangkan. Semua unsur ini saya rancang agar anak-anak tidak hanya tertarik mencicipi, tetapi juga mendapatkan pengalaman belajar sambil bermain.
Namun, perjalanan menciptakan PERMATA tidak berjalan mulus dan penuh tantangan. Saya harus melewati tiga kali percobaan, masing-masing dengan hasil dan pelajaran yang berbeda. Percobaan pertama dilakukan pada 31 Juli 2025. Saat itu, saya menggunakan bahan-bahan berupa sari jahe segar 80 ml, gula pasir 100 gram, gula aren 10 gram, air 40 ml, perasan jeruk nipis 1 sdm, vanili 2–3 tetes, dan daun pandan. Prosesnya saya mulai dengan memarut jahe, menambahkan air hangat, memeras, lalu menyaringnya hingga mendapatkan sari jahe yang murni. Seluruh bahan kemudian dimasak sambil diaduk perlahan hingga mencapai tahap hard crack stage, tahap di mana adonan permen mulai mengeras jika diteteskan ke air dingin.
Dengan penuh rasa optimis, saya menuangkan adonan tersebut ke cetakan berbentuk angka. Aroma perpaduan jahe dan pandan yang harum memenuhi ruangan, membuat saya yakin hasilnya akan memuaskan. Namun, begitu permen mengeras dan saya mencoba mengeluarkannya dari cetakan, bentuknya justru pecah dan retak. Rasa kecewa tentu ada, tetapi saya mencoba mencari tahu penyebabnya. Saya menduga kegagalan ini terjadi karena tekstur adonan terlalu rapuh akibat takaran gula yang kurang tepat, sehingga tidak membentuk struktur permen yang kuat. Pengalaman ini menjadi pengingat bahwa dalam menciptakan inovasi, ketelitian dalam mengukur bahan sama pentingnya dengan kreativitas dalam merancang konsep.
Tidak menyerah pada kegagalan pertama, saya mencoba melakukan percobaan kedua pada 2 Agustus 2025 dengan pendekatan resep yang benar-benar berbeda. Kali ini, saya menggunakan 200 gram gula pasir, 80 ml whipping cream, 1/4 sendok teh garam, 1 sendok teh ekstrak vanila, dan 40 gram mentega tawar. Prosesnya lebih mirip pembuatan permen karamel, yaitu gula dilelehkan terlebih dahulu hingga mencair sempurna, kemudian whipping cream, garam, vanila, dan mentega dimasukkan secara bertahap sambil terus diaduk agar adonan menyatu dengan baik.
Hasilnya, tekstur permen jauh lebih lembut, kenyal, dan terasa creamy di mulut. Rasa manisnya berpadu dengan aroma vanila yang harum, menjadikannya lezat untuk dinikmati. Namun, masalah muncul ketika saya mencoba mengeluarkannya dari cetakan angka. Bentuknya tidak bisa mempertahankan detail angka dengan baik, malah menyerupai dodol yang agak lengket. Secara rasa memang memuaskan, tetapi dari sisi bentuk dan tujuan edukatifnya, percobaan ini dinyatakan gagal. Pengalaman ini mengajarkan bahwa kualitas rasa saja tidak cukup; konsistensi bentuk dan daya tahan tekstur juga menjadi kunci keberhasilan untuk mewujudkan konsep PERMATA sesuai ide awal.
Akhirnya, pada percobaan ketiga yang saya lakukan pada 9 Agustus 2025, saya memutuskan untuk menggabungkan teknik pembuatan permen keras dengan sentuhan tambahan berupa tepung untuk memperkuat struktur. Bahan yang saya gunakan terdiri dari 150 ml air jahe, 300 gram gula pasir, 3 sendok makan tepung maizena, dan 4 sendok makan tepung ketan. Setelah sari jahe siap melalui proses pemarutan, pemerasan, dan penyaringan, saya mencampur semua bahan ke dalam wajan, lalu mengaduknya perlahan hingga adonan mengental dengan konsistensi yang pas.

Saat adonan mencapai titik yang tepat, saya menuangkannya ke dalam cetakan angka yang sudah dipersiapkan. Kali ini, hasilnya benar-benar memuaskan. Permen mengeras sempurna, tidak lengket di cetakan, dan bentuk angka terlihat jelas tanpa retakan. Warna alami dari jahe dan gula memberikan kesan sederhana namun menarik, sementara aromanya tetap harum. Di momen itulah saya tahu bahwa formula ini adalah kunci untuk mewujudkan PERMATA sesuai visi awal, produk yang tidak hanya lezat dan sehat, tetapi juga memiliki bentuk edukatif yang konsisten dan menarik bagi anak-anak.

Keesokan harinya, 10 Agustus 2025, saya mengunjungi Bapak Eko untuk menyerahkan hasil PERMATA. Siang itu, suasana Desa Klareyan cukup hangat dengan langit cerah dan angin sepoi-sepoi. Saya membawa wadah berlabel berisi permen jahe berwarna merah dan hijau yang tampak cerah dan menggoda. Saat saya menjelaskan konsep PERMATA, Bapak Eko tampak antusias dan tertarik dengan ide ini. Beliau menilai bahwa inovasi tersebut berpotensi membantu UMKM jahe dalam menarik minat anak-anak serta keluarga muda untuk mengonsumsi produk berbahan jahe, sekaligus menjadi terobosan menarik dalam memperkenalkan manfaat jahe sejak dini.Bagi saya, momen itu sangat berarti. Rasanya seperti melihat ide yang awalnya hanya berada di kepala, kini diakui dan berpotensi hidup di masyarakat. Kami mengabadikan momen itu dengan foto bersama, sambil berbincang mengenai peluang pengembangan produk, termasuk menambahkan variasi rasa atau bentuk di masa depan.
Manfaat PERMATA tidak hanya dirasakan oleh anak-anak, tetapi juga masyarakat luas. Dari segi kesehatan, jahe membantu menghangatkan tubuh, melancarkan pencernaan, meningkatkan daya tahan tubuh, dan mengandung antioksidan alami. Pandan memberi aroma yang menenangkan dan dipercaya memiliki efek relaksasi, sedangkan vanili memberi rasa manis lembut yang akrab di lidah anak. Dari segi pendidikan, PERMATA membantu anak mengenal angka secara visual dan taktil, sehingga mereka bisa belajar sambil bermain. Dari segi ekonomi, produk ini membuka peluang pasar baru bagi UMKM jahe untuk menjangkau segmen yang sebelumnya terabaikan.
Dampak bagi masyarakat juga terlihat dari potensi keberlanjutan produk ini. PERMATA mudah diproduksi dengan peralatan sederhana dan bahan yang tersedia di pasar lokal. Desainnya bisa dikembangkan menjadi huruf alfabet atau simbol matematika, sehingga manfaat edukasinya lebih luas. Dengan strategi pemasaran yang tepat, PERMATA dapat menjadi oleh-oleh khas Desa Klareyan, bahkan meskipun desa ini bukan penghasil jahe. Diversifikasi produk seperti ini dapat memperkuat identitas UMKM setempat sebagai pelaku usaha yang kreatif dan adaptif.
Secara pribadi, pengalaman ini memberikan saya begitu banyak pelajaran berharga. Saya belajar bahwa inovasi bukan hanya soal menemukan ide unik, tetapi juga keberanian untuk menghadapi kemungkinan gagal, lalu bangkit dan mencoba lagi. Proses menciptakan PERMATA membuat saya merasakan langsung bagaimana teori yang selama ini saya pelajari di bangku kuliah, mulai dari konsep matematika, logika berpikir, hingga perencanaan produk, dapat benar-benar diaplikasikan di lapangan.
Berinteraksi langsung dengan masyarakat membuka perspektif baru bagi saya. Saya jadi memahami bahwa setiap ide, sekecil apa pun, memiliki potensi untuk membawa dampak positif, asalkan diwujudkan dengan niat yang tulus dan usaha yang sungguh-sungguh. Melihat respon antusias dari Bapak Eko dan warga setempat menegaskan bahwa inovasi tidak harus selalu besar dan kompleks; kadang, langkah sederhana yang dilakukan dengan hati justru bisa memberi arti lebih dalam. Pengalaman ini membuat saya semakin yakin untuk terus menggabungkan pengetahuan akademis dengan aksi nyata demi memberikan manfaat bagi lingkungan sekitar.
Ke depan, saya berharap PERMATA dapat diproduksi secara berkelanjutan sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh lebih banyak anak dan keluarga. Saya membayangkan kemasan yang lebih menarik dengan desain ceria dan informatif, sehingga bukan hanya memikat mata, tetapi juga menyampaikan pesan tentang manfaat jahe dan pentingnya belajar matematika. Dari segi pemasaran, saya ingin PERMATA didistribusikan ke toko-toko di sekitar sekolah, kantin, hingga koperasi siswa, sehingga anak-anak dapat dengan mudah menjangkaunya. Selain itu, pemasaran online melalui media sosial dan marketplace juga menjadi langkah penting untuk memperluas jangkauan, menjangkau konsumen di luar desa, bahkan ke berbagai daerah lain.
Lebih dari sekadar produk, saya ingin PERMATA menjadi simbol bahwa pembelajaran dan kesehatan dapat berjalan berdampingan.
Produk ini diharapkan menjadi pengingat bahwa inovasi tidak selalu harus berawal dari laboratorium canggih atau perusahaan besar; justru ide-ide segar sering kali lahir dari tempat sederhana yang dekat dengan kehidupan sehari-hari, seperti Desa Klareyan. Dengan perpaduan manfaat kesehatan dari jahe dan sentuhan edukasi matematika, saya yakin PERMATA dapat menjadi contoh nyata bahwa kreativitas dan kepedulian sosial bisa melebur dalam satu karya yang memberi dampak positif bagi banyak orang. (Eko B Art). 

Comments

Popular posts from this blog

Langkah Awal Pengabdian: Mahasiswa KKN-T 158 Dorong Inovasi UKM Kopi Di Desa Jurangmangu

Idul Fitri Adalah Momen Kebersamaan "Berdiri Sama Tinggi, Duduk Sama Rendah"

Mahasiswa KKN Multidisiplin Dorong Kopi Jurangmangu Tembus Pasar Lewat Branding Berbasis Budaya Lokal