Membangun Kesadaran Kolektif Ibu-ibu Tentang Posisi Strategis Mereka Dalam Membentuk Generasi Muda Yang Tangguh, Bermoral, Dan Berdaya Saing Di Tengah Gempuran Zaman
PEMALANG - Desa Klareyan, Pemalang, Selasa, 5 Agustus 2025 — Di sebuah rumah sederhana milik Ibu Ayu Wandira, warga Dusun 3 Desa Klareyan, pagi yang hangat menyambut langkah-langkah kecil menuju perubahan besar. Waktu baru menunjukkan pukul 10.30 WIB ketika satu per satu ibu-ibu mulai berdatangan, sebagian besar masih dengan pakaian keseharian mereka usai membereskan urusan rumah tangga. Hari itu, bukan hanya pertemuan rutin membahas Program Keluarga Harapan (PKH) seperti biasanya, tetapi juga menjadi momen istimewa untuk menyelami peran ibu sebagai penjaga pertama moral dan masa depan anak-anak mereka.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program kerja sosial masyarakat yang digagas oleh Fajri Nurhaliza, mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro yang tengah menjalani pengabdian Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN-T) bersama Tim 123 di Desa Klareyan, Kabupaten Pemalang. Dalam penyelenggaraan program yang berdurasi satu jam ini, Fajri membawa misi besar: membangun kesadaran kolektif ibu-ibu tentang posisi strategis mereka dalam membentuk generasi muda yang tangguh, bermoral, dan berdaya saing di tengah gempuran zaman.
Permasalahan kenakalan remaja bukanlah hal baru di Dusun 3. Namun, perhatian terhadapnya kerap hilang di balik kesibukan harian dan minimnya ruang diskusi antarwarga. “Anak-anak sekarang susah diajak kumpul, jarang bersosialisasi, apalagi ikut kegiatan karang taruna yang sekarang bisa dibilang mati suri, jarang sekali ada kegiatan untuk pemuda di desa ini” ujar Bapak kepala dusun 3 saat ditemui di kediamannya.
Fenomena ini tak lepas dari kurangnya aktivitas positif untuk remaja, komunikasi yang tidak terbangun dengan baik antara orang tua dan anak, serta minimnya bimbingan nilai sejak dini. Selain itu, pengaruh lingkungan, media sosial, dan lemahnya kontrol diri pada masa pencarian jati diri menjadikan remaja rentan terhadap penyimpangan perilaku.
“Peran ibu dalam keluarga sangat vital. Ibu bukan hanya mengurus rumah tangga, tapi juga menjadi guru pertama bagi anak-anak, terutama dalam menanamkan nilai dan moral sejak dini,” ujar Fajri dalam pemaparannya.
Sosialisasi ini tidak hanya menawarkan teori semata, tetapi disusun dengan pendekatan praktis berbasis kebutuhan lokal. Materi dikembangkan dari pengamatan langsung selama proses KKN, ditambah dengan kajian sosiologis tentang dinamika remaja dan strategi komunikasi keluarga. Fajri menyampaikan bahwa upaya pencegahan kenakalan remaja dimulai dari komunikasi yang sehat di rumah.
“Ibu-ibu bisa mulai dengan hal sederhana, misalnya menyediakan waktu 15–30 menit sehari untuk ngobrol santai dengan anak tanpa distraksi gadget. Obrolan ringan ini bisa berdampak besar bagi kestabilan emosi remaja,” jelasnya sambil menunjuk bagian leaflet yang dibagikan kepada peserta.
Dalam sesi interaktif, peserta diajak mengeksplorasi kembali bagaimana gaya komunikasi sehari-hari mereka terhadap anak-anak di rumah. Fajri memperkenalkan konsep active listening—mendengarkan tanpa menyela, memberi validasi, dan membuka ruang dialog dua arah.
“Ibu-ibu sering nggak sadar, kadang kita terlalu cepat marah atau langsung menghakimi saat anak bercerita. Padahal, yang mereka butuhkan hanya didengarkan,” terang Fajri.
Para peserta tampak antusias ketika diajak mempraktikkan teknik pertanyaan terbuka. “Daripada langsung bilang ‘Jangan main malam-malam!’, coba tanya ‘Menurutmu, apa risiko kalau sering keluar malam?’” jelasnya. Metode ini direspons positif oleh para ibu, yang mulai menyadari pentingnya pendekatan persuasif dalam mendidik anak.
Sosialisasi ini juga menekankan bahwa pencegahan kenakalan remaja tidak cukup dilakukan secara individu. Butuh keterlibatan komunitas, terutama jejaring ibu-ibu di tingkat dusun. Fajri menyoroti pentingnya mengaktifkan kembali karang taruna yang selama ini vakum. “Kalau ibu-ibu bisa saling memantau kegiatan anak-anak, mendukung pembentukan kegiatan remaja yang positif, maka dampaknya bisa sangat besar,” ujarnya penuh semangat.
Gagasan ini memicu percakapan hangat antar peserta. Beberapa ibu mulai mengusulkan kegiatan seperti senam remaja, pengajian anak muda, atau pelatihan keterampilan. “Kalau ada yang fasilitasi, kita juga semangat bantu,” ucap Ibu Atik, salah satu peserta yang paling aktif berdiskusi.Selama sosialisasi, atmosfer keakraban terasa kental. Meski hanya satu jam, kegiatan ini berhasil memantik kesadaran baru di antara para ibu yang hadir. Mereka tak hanya mendapatkan pemahaman tentang kenakalan remaja, tetapi juga merasa diposisikan sebagai agen perubahan sosial yang sesungguhnya.
Di akhir sesi, Fajri membagikan leaflet berjudul “Peran Ibu sebagai Garda Terdepan dalam Membangun Generasi Muda dan Mencegah Kenakalan Remaja” yang berisi panduan komunikasi efektif, teknik menghadapi kebuntuan, dan strategi penguatan komunitas berbasis keluarga. Materi ini disusun ringkas dan aplikatif, agar mudah diterapkan oleh ibu-ibu dalam rutinitas harian.
Momen sosialisasi ini memang sederhana, namun memberi kesan mendalam. Ia menjadi contoh nyata bahwa pendekatan humanis, partisipatif, dan berbasis lokal mampu membangun kesadaran kolektif untuk perubahan sosial.Fajri mengakui bahwa kegiatan ini merupakan hasil dari proses panjang pengamatan, diskusi informal dengan warga, serta refleksi atas nilai-nilai pemerintahan yang dipelajarinya selama kuliah. “Sebagai mahasiswa Ilmu Pemerintahan, saya percaya perubahan tidak harus selalu lewat kebijakan besar. Ia bisa dimulai dari ruang terkecil—keluarga,” pungkasnya.
Kegiatan ini pun mendapatkan apresiasi dari Ketua RT dan tokoh masyarakat setempat, yang melihatnya sebagai langkah awal pembinaan remaja di dusun tersebut. Harapannya, semangat ini tidak berhenti di sosialisasi, tapi terus ditindaklanjuti dalam bentuk kegiatan-kegiatan berkelanjutan.
Di balik satu program kerja ini, tersimpan satu pesan besar: bahwa ibu—dalam segala kesederhanaannya—adalah benteng pertama dan terakhir dalam menjaga arah hidup anak-anaknya. Ketika para ibu menyadari kekuatannya, maka sejatinya, masa depan generasi muda akan jauh lebih kuat.Program ini menjadi bagian penting dari rangkaian pengabdian KKN-T 123 di Desa Klareyan. Dalam waktu yang terbatas, setiap mahasiswa mencoba meninggalkan jejak manfaat, bukan hanya melalui infrastruktur atau pelatihan, tetapi juga lewat perubahan cara pandang dan cara hidup.
“Yang kami bawa bukan sekadar teori, tapi komitmen untuk tumbuh bersama masyarakat. Saya belajar banyak dari para ibu hari ini,” tutur Fajri setelah kegiatan berakhir.
Di bawah terik matahari yang mulai meredup, para ibu satu per satu berpamitan, namun semangat diskusi masih terasa menggantung di udara. Di dalam rumah sederhana itu, telah terjadi percakapan yang mampu mengubah cara pandang—dan mungkin, mengubah masa depan sebuah dusun kecil di sudut Kabupaten Pemalang.
Kegiatan sosialisasi yang diselenggarakan di rumah Ibu Ayu Wandira bukan sekadar pelengkap program kerja Kuliah Kerja Nyata. Di balik tembok rumah sederhana itu, berlangsung proses pembelajaran dua arah yang sarat makna. Para ibu yang hadir bukan hanya menjadi peserta pasif, melainkan turut menghidupkan diskusi dengan pengalaman dan cerita nyata dari kehidupan sehari-hari mereka sebagai orang tua.
Dalam durasi satu jam tersebut, terjadi pertukaran gagasan yang membumi—tentang keresahan ibu terhadap anak-anaknya, keterbatasan ruang interaksi antarwarga, hingga minimnya peran kolektif dalam mendukung tumbuh kembang remaja di lingkungan desa. Ini menjadi refleksi penting bahwa masalah kenakalan remaja tidak bisa dipandang semata-mata sebagai urusan pribadi, melainkan permasalahan sosial yang membutuhkan keterlibatan bersama.
Melalui pendekatan yang empatik dan dialogis, kegiatan ini mampu membangun jembatan pemahaman antara konsep akademik yang dibawa mahasiswa dan realitas yang dialami warga. Pendekatan tersebut membuat materi yang disampaikan menjadi lebih mudah diterima, karena bersandar pada situasi nyata dan relevan dengan keseharian para ibu. Mereka tidak merasa digurui, melainkan diajak memahami persoalan dengan cara yang manusiawi dan solutif.
Salah satu kekuatan utama dalam kegiatan ini adalah penyampaian materi yang sederhana namun padat makna. Leaflet yang dibagikan dirancang tidak hanya sebagai media informasi, tetapi sebagai alat pemberdayaan. Isinya mencakup berbagai strategi komunikasi yang bisa langsung diterapkan oleh para ibu di rumah, mulai dari teknik mendengarkan aktif hingga cara menghadapi kebuntuan komunikasi. Pendekatan semacam ini memperlihatkan bahwa literasi sosial tidak harus dikemas dalam bentuk rumit—yang terpenting adalah kebermanfaatannya dalam kehidupan sehari-hari.
Di sisi lain, kegiatan ini juga membuka mata bahwa peran ibu selama ini kerap terpinggirkan dalam narasi pembangunan sosial di tingkat desa. Padahal, ibu memiliki posisi strategis dalam menjaga stabilitas keluarga sekaligus sebagai penjaga nilai-nilai moral yang diturunkan kepada generasi muda. Ketika ibu diberdayakan melalui pengetahuan dan jaringan sosial yang kuat, maka ia dapat menjadi penggerak perubahan yang efektif, bahkan tanpa harus menunggu intervensi dari luar.
Program kerja ini tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari rangkaian kegiatan sosial yang dirancang oleh Tim KKN-T 123 di Desa Klareyan dengan pendekatan tematik, partisipatif, dan kontekstual. Mahasiswa KKN tidak hanya datang untuk ‘mengisi waktu’, melainkan menginisiasi ruang diskusi baru yang berfokus pada penguatan kapasitas warga—terutama dalam isu-isu sosial yang kerap terlupakan.
Dusun 3 dipilih sebagai lokasi kegiatan bukan tanpa alasan. Dari hasil observasi dan wawancara selama minggu pertama KKN, diketahui bahwa wilayah ini mengalami tantangan serius dalam aspek relasi sosial antar generasi. Karang taruna yang seharusnya menjadi motor aktivitas pemuda tak lagi berfungsi, remaja kerap terlihat menghabiskan waktu tanpa arah yang jelas, dan ruang interaksi keluarga tampak menyempit karena dominasi gawai dan tekanan ekonomi.Di tengah situasi semacam itu, kehadiran kegiatan seperti ini menjadi semacam ruang jeda yang menyegarkan. Ia mengajak ibu-ibu untuk kembali mengambil peran sentral dalam keluarga dan lingkungan, bukan hanya sebagai pengurus domestik, tetapi sebagai pengarah, pendamping, sekaligus pelindung moral anak-anaknya. Ini adalah langkah kecil, tetapi penuh daya ubah.
Selain itu, kegiatan ini secara tidak langsung turut membangun kepercayaan masyarakat terhadap kehadiran mahasiswa KKN. Para ibu mulai melihat bahwa mahasiswa tidak datang dengan jarak dan jargon akademik yang rumit, melainkan membawa empati dan kepedulian yang tulus. Hal ini sangat penting dalam membangun relasi sosial yang kuat antara tim KKN dan masyarakat, karena keberhasilan program tidak hanya ditentukan oleh konten materi, tetapi juga oleh keterbukaan dan kepercayaan warga.
Kegiatan ini juga memberi ruang bagi terbangunnya komunitas informal antaribu yang sebelumnya belum terorganisir dengan baik. Diskusi yang berlangsung selama sosialisasi memunculkan banyak kesadaran baru: bahwa anak-anak tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri dalam menentukan arah hidupnya, dan bahwa kontrol sosial yang sehat tidak harus selalu berbentuk larangan atau pengawasan yang kaku, melainkan bisa melalui jejaring komunikasi ibu-ibu yang saling mendukung satu sama lain.
Secara lebih luas, kegiatan ini menjadi cermin bagaimana program kerja KKN bisa menjelma menjadi inisiatif pemberdayaan masyarakat jika dirancang berdasarkan pemahaman kontekstual dan relasi yang egaliter. Ia tidak hanya menyasar perubahan individu, tetapi juga membentuk dinamika sosial baru yang lebih partisipatif dan berbasis nilai lokal.Dari sisi akademik, kegiatan ini juga merepresentasikan penerapan ilmu pemerintahan dalam konteks mikro. Mahasiswa belajar bagaimana nilai-nilai seperti partisipasi, good governance, dan pemberdayaan sosial dapat diterjemahkan dalam bentuk program yang langsung menyentuh kehidupan warga. Pengalaman ini jauh lebih bernilai daripada sekadar pembelajaran teori di dalam kelas.
Melalui program ini, terlihat bagaimana kolaborasi antara mahasiswa dan warga dapat menghasilkan kegiatan yang bukan hanya menyentuh isu aktual, tetapi juga memantik transformasi sosial. Tidak ada infrastruktur fisik yang dibangun hari itu, namun fondasi nilai dan kesadaran baru telah diletakkan. Ini adalah bentuk pembangunan yang tidak kasat mata, tetapi justru paling esensial dalam membangun peradaban masyarakat.
Dengan semangat yang sama, kegiatan ini diharapkan dapat menjadi pemicu bagi inisiatif lanjutan—baik oleh warga sendiri, pemerintah desa, maupun oleh generasi mahasiswa KKN berikutnya. Sebab ketika satu kelompok ibu mulai aktif memantau dan mendampingi remaja, maka benih perubahan telah ditanam, dan tinggal menunggu waktu untuk tumbuh menjadi gerakan kolektif yang lebih besar. Kenakalan remaja bukan sekadar masalah anak, tapi refleksi dari komunikasi dan perhatian di lingkungan terdekatnya—terutama keluarga. Dengan komunikasi yang baik, dukungan emosional, dan pengawasan positif dari ibu, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, tidak mudah terpengaruh, dan mampu berperilaku sesuai norma.
Sosialisasi ini akhirnya bukan hanya tentang kenakalan remaja atau komunikasi keluarga. Ia adalah tentang harapan. Harapan bahwa desa, dalam segala kesederhanaannya, masih memiliki kekuatan untuk melindungi generasi mudanya. Harapan bahwa ibu, dengan segala peran gandanya, tetap menjadi tiang utama dalam menjaga nilai-nilai kehidupan. Dan harapan bahwa mahasiswa, meski hanya sementara tinggal di desa, bisa meninggalkan jejak yang berdampak dalam jangka panjang.
Seiring berakhirnya kegiatan, semangat yang tercipta tidak turut surut. Para ibu tampak masih terlibat dalam percakapan kecil meski sesi sosialisasi telah selesai. Beberapa di antaranya menyampaikan ketertarikan untuk kembali berkumpul dan membicarakan gagasan lanjutan secara lebih terstruktur. Hal ini menjadi sinyal awal bahwa kegiatan sederhana ini telah berhasil menyentuh sisi terdalam kesadaran kolektif mereka sebagai bagian penting dari komunitas.
Salah satu ide yang mulai mengemuka adalah membentuk kelompok diskusi ibu-ibu yang berfokus pada isu remaja dan keluarga. Rencana ini muncul secara spontan, namun menunjukkan bahwa ketika ruang partisipasi dibuka, masyarakat memiliki kapasitas besar untuk mengorganisasi diri. Inilah wujud dari pemberdayaan yang sesungguhnya—bukan dari luar ke dalam, tapi dari dalam masyarakat itu sendiri.
Dari kegiatan ini, tidak hanya terbangun relasi antarindividu, tetapi juga lahir percikan gerakan sosial skala kecil yang memiliki potensi untuk terus tumbuh dan berkembang. Dengan semangat kolaboratif, empati sosial, dan kemauan belajar bersama, apa yang dimulai dari rumah Ibu Ayu Wandira hari itu bisa berkembang menjadi gerakan ibu sadar peran—penjaga masa depan generasi muda Desa Klareyan. Sebuah warisan dari pengabdian yang tidak hanya hadir, tapi mengakar dalam kehidupan sosial warga dan mampu menginspirasi generasi berikutnya untuk turut berkontribusi nyata bagi masyarakat. (Eko B Art).
Comments
Post a Comment