Mahasiswa KKN-T 123 Hadirkan JABOKU, Bolu Kukus Inovatif dari Kedai Jahe Pak Eko

PEMALANG - Malam di Desa Klareyan terasa begitu khas. Udara dingin mulai menyelimuti, seolah ikut melengkapi ketenangan desa yang perlahan memasuki waktu istirahat. Lampu jalan yang berderet sederhana memantulkan cahaya kuning temaram di sepanjang jalan utama desa, menciptakan bayangan panjang pada pagar bambu dan pepohonan di tepi jalan. Jalanan tidak lagi ramai seperti siang hari, hanya sesekali terdengar suara motor yang melintas pelan atau tawa anak-anak yang baru saja usai bermain di halaman rumah.

Di antara deretan rumah warga, berdiri sebuah kedai kecil yang sederhana namun hangat. Tulisan “Exist Way” tergantung di depannya yang memiliki makna selalu ada jalan. Dari dapur kedai, asap tipis mengepul dari panci besar di atas kompor, menebarkan aroma jahe rebus bercampur gula aren yang begitu akrab. Aroma itu seakan menjadi tanda bagi warga sekitar bahwa kedai sudah buka, siap menyambut siapa pun yang ingin menghangatkan tubuh dan hati dengan segelas wedang jahe.

Kedai ini milik pasangan suami istri, Pak Eko dan Bu Eko. Sejak lama, kedai sederhana itu sudah menjadi bagian hidup mereka. Wedang jahe bukan sekadar minuman, melainkan warisan turun-temurun dari orang tua Pak Eko yang dahulu juga berjualan minuman serupa di sudut desa. “Dari dulu ya begini, bikin jahe hangat buat tetangga, buat orang lewat. Lama-lama jadi kedai kecil,” tutur Bu Eko suatu ketika. Usaha kecil itu mungkin terlihat sepele bagi orang luar, tetapi bagi keluarga Eko, kedai ini adalah denyut kehidupan.

Setiap malam, kursi kayu di depan kedai biasanya terisi oleh pelanggan tetap. Ada petani yang singgah setelah pulang dari sawah, ada pemuda desa yang nongkrong sambil bercerita, ada pula ibu-ibu yang mampir sambil menunggu anaknya dari pengajian. Mereka semua datang untuk alasan yang sama yakni menikmati wedang jahe hangat yang khas buatan Pak Eko. Namun, malam ini suasana terasa berbeda. Kedai yang biasanya dipenuhi obrolan ringan pelanggan kini beralih fungsi. Malam ini, kedai menjadi ruang pertemuan, tempat berlangsungnya pengenalan sebuah inovasi: JABOKU — Bolu Kukus Substitusi Tepung Jahe dan Ubi Ungu.

Inovasi ini merupakan program kerja mahasiswa KKN-T 123 Universitas Diponegoro bernama Rani Sofiani yang merupakan mahasiswi juruan Teknologi pangan dengan gagasan ide untuk menciptakan produk pangan sehat, bernilai ekonomi, sekaligus berkelanjutan. Bukan kebetulan kedai Pak Eko dipilih sebagai tempat perkenalan produk. Tim KKN melihat bahwa kedai ini, dengan popularitas wedang jahenya, memiliki potensi besar untuk menjadi titik awal pengembangan produk lokal.

Pak Eko sendiri bukanlah seorang petani. Ia tidak memiliki lahan jahe maupun ubi ungu. Semua bahan baku yang digunakan di kedainya dibeli dari pasar desa. “Jahe saya beli kiloan dari pasar, begitu juga kalau ada ubi ungu. Kadang saya lihat ubi ungu dijual di lapak sayur, warnanya cantik sekali, tapi jarang terpikir mau diolah,” ceritanya sambil tersenyum. Bagi Eko dan istrinya, yang terpenting adalah bagaimana mengolah bahan yang ada menjadi sesuatu yang bermanfaat dan bisa dijual. “Kami ini cuma penjual, bukan penghasil. Jadi ya harus pintar-pintar mengolah,” ujarnya suatu malam, ketika tim KKN pertama kali berkunjung ke kedainya.

Obrolan itu terjadi di bangku panjang kayu yang menjadi saksi banyak percakapan sederhana. Malam itu, sambil menyeruput wedang jahe buatan Pak Eko, mahasiswa KKN berbincang santai. Di antara mereka, Rani Sofiani, salah satu mahasiswi yang aktif, memperhatikan bagaimana pelanggan berdatangan dan selalu terlihat puas dengan minuman yang disajikan. Ia kemudian menyampaikan gagasan baru. “Kalau jahe ini tidak hanya dijadikan minuman, tapi juga bisa jadi bahan dasar bolu kukus, bagaimana, Pak? Apalagi kalau dipadukan dengan ubi ungu, rasanya bisa lebih sehat, warnanya menarik, dan kandungan antioksidannya tinggi,” usulnya.
Pak Eko terdiam sejenak, mencoba membayangkan. Bolu kukus berbahan jahe terdengar asing baginya. Namun sebelum ia menjawab, Bu Eko lebih dulu menimpali dengan wajah berbinar. “Kalau bisa begitu, tentu bagus. Soalnya pelanggan saya sering minta camilan juga, tapi saya hanya bisa jualan keripik, gorengan, atau kacang seadanya,” katanya. Kalimat sederhana itu seolah menjadi jawaban betapa besar peluang ide tersebut. Wajah sumringah Bu Eko menjadi pertanda semangat baru, sebuah harapan bahwa kedai mereka bisa lebih dari sekadar tempat minum jahe.
Dari percakapan santai malam itu, benih JABOKU pun ditanam. Sebuah ide yang lahir bukan dari ruang rapat formal, melainkan dari bangku panjang kedai sederhana, ditemani aroma jahe hangat yang mengepul, dan tekad tulus untuk terus berinovasi meski dari tempat sekecil Desa Klareyan.

Pukul 19.30 WIB, kedai Pak Eko benar-benar berubah wajah. Malam yang biasanya diwarnai obrolan ringan pelanggan dan kepulan asap jahe, kini dipenuhi aroma manis kukusan bolu yang baru matang. Meja panjang di sudut kedai ditata rapi oleh mahasiswa KKN, dipenuhi loyang berisi bolu kukus berwarna ungu lembut. Warna itu kontras dengan meja kayu sederhana, membuat bolu terlihat lebih menawan seolah menyimpan cerita baru. Lampu neon putih yang biasanya hanya cukup untuk sekadar menerangi ruang kecil itu kini terasa sangat terang, memantulkan kilau halus pada permukaan bolu kukus yang mengembang sempurna.
Tidak banyak orang hadir. Hanya ada tim KKN yang berjumlah beberapa orang, ditemani Pak Eko dan Bu Eko yang duduk di kursi kayu, memperhatikan dengan penuh rasa ingin tahu. Namun suasana intim itulah yang membuat peresmian terasa hangat dan penuh makna. Tak ada keramaian berlebihan, tak ada sorak-sorai seperti pesta, hanya suara jangkrik malam yang bersahut-sahutan dari luar kedai, seolah menjadi musik pengiring sederhana.

Di antara suasana itu, Rani Sofiani berdiri, membuka acara dengan penuh semangat. Ia berbicara dengan nada tegas, namun tetap hangat. “Hari ini saya akan memperkenalkan JABOKU, sebuah inovasi bolu kukus berbasis tepung jahe dan ubi ungu, hasil kerja sama dengan Pak Eko dan Bu Eko sebagai mitra UMKM. Semoga bisa jadi oleh-oleh khas Desa Klareyan.” Kata-katanya menggema di ruang kecil kedai, membawa nuansa resmi namun tetap akrab.

Pak Eko yang mendengarkan dari kursinya tersenyum. Senyumnya tidak biasa, karena disertai mata yang berkaca-kaca. Kedai kecil yang ia anggap sederhana, malam itu seolah memiliki arti baru. “Kedai jahe ini memang kecil, tapi malam ini terasa besar sekali. Rasanya seperti punya masa depan baru,” ucapnya lirih, membuat seisi ruangan terdiam sejenak.

Tak lama kemudian, tibalah saat yang ditunggu: sesi mencicipi. Potongan bolu dibagikan di piring-piring kecil. Pak Eko mengambil satu, memandanginya sebentar, lalu menggigit perlahan. Raut wajahnya langsung berubah. “Hmmm... lembut sekali. Rasa jahe ada, tapi tidak menusuk. Ubi ungunya bikin manis alami. Pas sekali kalau jadi teman minum jahe,” komentarnya sambil tersenyum puas.
Bu Eko ikut mencoba, matanya berbinar saat rasa bolu memenuhi lidahnya. “Kalau dijual di kedai, pasti banyak yang suka. Bisa jadi camilan sehat yang unik,” katanya penuh keyakinan. Ucapannya membuat para mahasiswa saling berpandangan lega. Ada kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata ketika inovasi yang mereka bawa diterima dengan baik oleh mitra.
Lebih dari sekadar rasa, JABOKU membawa makna. Ia bukan sekadar produk makanan, melainkan hasil kolaborasi nyata antara ilmu mahasiswa dan kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Dari obrolan sederhana lahirlah ide yang kini bisa membuka peluang baru.

Pak Eko kemudian melanjutkan dengan suara mantap, “Saya tidak punya lahan jahe atau ubi ungu. Tapi dengan resep ini, saya bisa beli bahan dari pasar, lalu olah sendiri. Tidak perlu kebun besar untuk bisa berinovasi.” Ucapannya seolah menjadi penegasan bahwa inovasi tidak selalu membutuhkan modal besar atau sumber daya melimpah. Semangat dan kemauan untuk mencoba seringkali lebih penting dari segalanya.
Malam itu, kedai Pak Eko menemukan jati dirinya yang baru. Tidak lagi hanya sekadar tempat menjual minuman jahe hangat, tetapi kini juga memiliki potensi menjadi ruang lahirnya produk oleh-oleh khas desa. Dari bolu kukus sederhana berbahan jahe dan ubi ungu, lahirlah harapan besar bahwa Desa Klareyan bisa dikenal bukan hanya karena wedang jahe yang menghangatkan, tapi juga karena inovasi pangan sehat yang lahir dari kerja sama kecil di sebuah kedai sederhana.
Bagi Pak Eko dan Bu Eko, JABOKU bukan sekadar bolu kukus berwarna ungu lembut dengan aroma jahe yang hangat. Lebih dari itu, JABOKU adalah sebuah simbol. Sebuah harapan agar kedai kecil mereka yang selama ini hanya dikenal sebagai tempat singgah untuk wedang jahe, dapat berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar yakni seperti ikon oleh-oleh khas Desa Klareyan. Dari sudut kedai sederhana, mereka membayangkan kemungkinan bahwa suatu hari nanti orang yang datang ke desa tidak hanya mencari minuman jahe, tetapi juga pulang membawa sebungkus JABOKU sebagai buah tangan.

Namun di balik antusiasme itu, keduanya sadar betul bahwa perjalanan menuju mimpi besar tidaklah mudah. Ada tantangan nyata yang menunggu di depan. “Konsistensi rasa itu penting,” kata Pak Eko perlahan. “Kalau sekali enak, sekali terlalu manis, pelanggan bisa kecewa.” Ia tahu, menjaga rasa tidak semudah membuat segelas wedang jahe, karena bolu kukus melibatkan lebih banyak tahapan dan bahan.
Bu Eko menambahkan kekhawatiran lain. “Kalau bolu kukus ini hanya tahan 2–3 hari, bagaimana kalau orang beli untuk dibawa keluar kota?” tanyanya. Pertanyaan itu sederhana, tetapi mencerminkan pemikiran jauh ke depan. Bu Eko membayangkan JABOKU dijual tidak hanya di kedai kecil mereka, tetapi juga di pasar, toko oleh-oleh, bahkan mungkin dipasarkan lewat daring. Namun daya tahan produk jelas menjadi faktor penting jika mereka ingin memperluas jangkauan.
Mendengar kegelisahan itu, tim KKN tidak tinggal diam. Dengan tenang mereka menjelaskan beberapa solusi praktis. “Salah satu cara adalah menggunakan teknik pengemasan vakum,” ujar Rani, salah satu mahasiswi yang menggagas ide inovasi tersebut.” Dengan vakum, udara yang mempercepat basi bisa diminimalisir, jadi bolu bisa lebih tahan lama. Selain itu, ada bahan tambahan alami seperti sari jeruk nipis atau ekstrak tumbuhan tertentu yang bisa membantu memperpanjang umur simpan tanpa mengurangi kesehatan produknya.”
Tak hanya soal ketahanan produk, Rani juga membicarakan pentingnya strategi pemasaran. Menurut ia, produk yang baik harus diiringi dengan kemasan yang menarik. “Branding itu penting, Bu,” timpal Rani. “Label JABOKU bisa dibuat dengan desain modern tapi tetap menonjolkan identitas desa Klareyan. Jadi orang bukan hanya membeli bolu kukus, tapi juga membeli cerita di baliknya.” Kata-kata itu membuat Bu Eko mengangguk-angguk, membayangkan logo sederhana dengan gambar jahe dan ubi ungu yang melambangkan bahan utama produk.
“Ini memang langkah awal,” lanjut Rani, menatap Pak Eko dan istrinya dengan yakin. “Tapi kami percaya, dengan pendampingan berkelanjutan, JABOKU bisa bertahan lama di pasar. Tidak hanya menjadi produk rumahan, tapi benar-benar bisa bersaing sebagai oleh-oleh sehat khas Pemalang.”
Malam itu semakin larut. Namun obrolan ringan di kedai kecil itu terasa begitu bermakna. Meski sederhana, suasana penuh ide dan harapan meninggalkan kesan mendalam. Kedai jahe yang biasanya hanya dipenuhi kepulan asap dan cangkir kaca kini berubah menjadi ruang inovasi, tempat di mana ide-ide baru lahir dan tumbuh.

Pak Eko menatap bolu kukus yang tersaji di meja, matanya berbinar seperti anak kecil yang baru saja menemukan mainan baru. Senyum kecil muncul di wajahnya. “Saya tidak pernah menyangka, dari kedai jahe kecil ini, bisa lahir produk seperti JABOKU. Rasanya seperti mimpi,” ucapnya dengan suara bergetar. Ucapan itu membuat suasana hening sejenak, seolah setiap orang di ruangan itu meresapi arti kata-katanya.
Di luar, suara jangkrik tetap terdengar, angin malam menyusup lewat celah jendela kayu, dan aroma jahe bercampur wangi bolu kukus memenuhi udara. Kedai kecil itu memang sederhana, tetapi malam itu kedai tersebut menjadi saksi lahirnya harapan baru: bahwa inovasi bisa tumbuh dari tempat yang paling sederhana, dengan orang-orang yang berani bermimpi.
Pengenalan JABOKU di kedai Pak Eko menjadi bukti nyata bahwa inovasi tidak selalu harus lahir dari ruang-ruang besar atau laboratorium canggih. Terkadang, ide justru menemukan tempatnya di ruang sederhana, di antara kepulan asap panci jahe, dan di tengah kehangatan obrolan malam di desa. Kedai kecil milik Pak Eko malam itu seolah menjadi panggung yang membuktikan bahwa langkah besar bisa bermula dari sudut terkecil. Tidak perlu lahan luas, tidak perlu modal besar; yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk mencoba, kerja sama yang tulus, serta semangat untuk terus maju.

Bagi warga Desa Klareyan, kehadiran JABOKU memberi warna baru. Selama ini, oleh-oleh khas desa identik dengan jajanan tradisional yang sudah lama beredar di pasaran. Kini, dengan lahirnya bolu kukus berbahan jahe dan ubi ungu, Desa Klareyan memiliki identitas baru berupa produk pangan sehat yang lahir dari kearifan lokal dan inovasi bersama. Lebih dari sekadar rasa, JABOKU menghadirkan sebuah cerita. Cerita tentang kedai jahe kecil yang setiap malam menjadi saksi obrolan sederhana. Cerita tentang pasangan suami istri yang berani mencoba hal baru meski mereka hanya pedagang kecil. Dan tentu saja, cerita tentang mahasiswa yang datang bukan hanya membawa ilmu, tetapi juga semangat untuk berbagi, belajar, dan tumbuh bersama masyarakat.

Cerita itu kini terpatri dalam setiap potongan bolu kukus JABOKU. Setiap rasa hangat dari jahe mengingatkan pada tradisi desa yang sudah lama dijaga, sementara warna ungu dari ubi menandakan harapan baru—sebuah simbol keseimbangan antara menjaga warisan dan membuka jalan untuk masa depan. Tidak mengherankan jika kehadiran JABOKU diterima dengan antusias, bukan hanya oleh Pak Eko dan istrinya, tetapi juga oleh warga yang menyaksikan perubahan kecil namun berarti ini.

Pak Eko, dengan mata yang berbinar, bahkan sudah membayangkan hari di mana orang-orang dari luar desa datang, singgah di kedainya, dan pulang membawa sebungkus JABOKU. Baginya, bolu kukus itu bukan hanya camilan, melainkan bukti bahwa kedai kecil mereka punya arti. “Kalau nanti orang datang ke Desa Klareyan dan pulang membawa JABOKU, saya akan bilang itu lahir dari kedai kecil kami, di malam yang penuh harapan,” ucapnya lirih, menutup malam dengan kalimat yang sederhana namun penuh makna.
Ucapan itu menggambarkan lebih dari sekadar kebanggaan pribadi. Ia adalah wujud rasa percaya diri baru bagi masyarakat desa bahwa mereka pun bisa menghasilkan sesuatu yang bernilai tinggi.

Bahwa desa bukan hanya tempat memproduksi bahan mentah untuk dikirim ke kota, melainkan juga bisa menjadi pusat inovasi pangan yang memberi manfaat langsung bagi warganya.
Malam di Desa Klareyan pun ditutup dengan suasana yang berbeda dari biasanya. Aroma jahe masih mengepul dari panci besar Pak Eko, namun kini berpadu dengan wangi lembut bolu kukus yang tersisa. Kedai kecil itu menyimpan kenangan baru tentang bagaimana sebuah program kerja KKN berhasil menyalakan semangat baru, menumbuhkan harapan, sekaligus membuka jalan bagi keberlanjutan ekonomi warga.

Di luar kedai, lampu jalan yang temaram seolah menjadi saksi bisu. Angin malam berhembus pelan, membawa serta doa-doa dalam hati pasangan suami istri tersebut bahwa semoga JABOKU tidak berhenti di malam itu saja, tetapi benar-benar tumbuh menjadi kebanggaan desa. Semangat yang lahir malam itu akan terus menyala, mengingatkan bahwa inovasi bisa benar-benar lahir dari desa—dari sebuah kedai sederhana, dari tangan-tangan kecil yang mau berusaha, dan dari keberanian untuk bermimpi lebih besar. (Eko B Art). 

Comments

Popular posts from this blog

Langkah Awal Pengabdian: Mahasiswa KKN-T 158 Dorong Inovasi UKM Kopi Di Desa Jurangmangu

Idul Fitri Adalah Momen Kebersamaan "Berdiri Sama Tinggi, Duduk Sama Rendah"

Mahasiswa KKN Multidisiplin Dorong Kopi Jurangmangu Tembus Pasar Lewat Branding Berbasis Budaya Lokal