“Ketika Jahe dan Bawang Putih Menjadi Perisai: Inovasi Hijau dari Tangan Mahasiswa”
PEMALANG - Desa Klareyan, 24 Juli 2025 — Dalam lanjutan kegiatan Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN-T) Multidisiplin Universitas Diponegoro, saya, Ulya Agassi, mahasiswa Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Matematika, melaksanakan program kerja kedua bertajuk “Green Shield: Inovasi Pestisida Nabati Berbasis Jahe dengan Formula Bawang Putih untuk Bioproteksi Tanaman Berkelanjutan”. Program ini merupakan bagian dari upaya pengabdian mahasiswa berbasis sains yang bertujuan untuk menghadirkan solusi alternatif terhadap penggunaan pestisida kimia sintetis yang marak digunakan petani dan masyarakat pekarangan.
Kegiatan dilaksanakan di rumah mitra UMKM milik Bapak Eko Siswanto, yang sebelumnya juga menjadi lokasi pelaksanaan program biochar. Meskipun Desa Klareyan bukan desa dengan perkebunan jahe atau bawang putih, keberadaan UMKM olahan jahe milik Pak Eko memberi peluang besar untuk memanfaatkan bahan baku herbal sisa produksi, terutama dari rimpang jahe yang tidak layak jual atau sisa pengupasan. Dengan menambahkan bahan aktif bawang putih, formula ini dikembangkan menjadi pestisida nabati yang memiliki kemampuan antijamur.
Latar belakang program ini berangkat dari kekhawatiran masyarakat terhadap dampak pestisida sintetis yang semakin dirasakan. Tidak sedikit warga desa yang mengeluhkan kulit tangan gatal setelah menyemprotkan pestisida, atau tanaman yang malah cepat rusak karena over spraying. Selain itu, residu pestisida dalam tanaman konsumsi juga menjadi masalah kesehatan yang mengintai, terutama bagi petani kecil yang tidak memiliki pelindung saat menyemprot.
Sebagai mahasiswa biologi, saya merasa terpanggil untuk menghadirkan inovasi berbasis sains yang sederhana, aman, dan bisa dibuat sendiri oleh masyarakat. Maka dari itu, saya menyusun formula “Green Shield” yang terdiri dari ekstrak jahe merah segar, bawang putih, air sebagai pelarut alami, dan sedikit sabun cair biodegradable untuk meningkatkan daya lekat larutan. Formula ini diuji secara sederhana pada beberapa tanaman sayur di sekitar rumah Pak Eko, terutama cabai, terong, dan sawi yang kerap diserang jamur tanaman.
Pelaksanaan kegiatan dimulai dengan sesi pengenalan pestisida nabati dan dampaknya terhadap kesehatan tanah dan manusia. Saya menjelaskan bahwa pestisida nabati bekerja lebih lambat dibandingkan pestisida kimia, namun memiliki kelebihan yaitu tidak menimbulkan resistensi hama, tidak membunuh serangga penyerbuk, serta tidak mencemari air tanah. Materi ini saya sajikan dalam bentuk poster dan penjelasan verbal kepada Pak Eko.
Setelah itu, kami bersama-sama mempraktikkan pembuatan larutan pestisida herbal ini. Pertama, jahe merah dan bawang putih dipotong kecil dan dihaluskan dengan blender dengan tambahan air 500 ml. Kemudian, larutan disaring dan ditambahkan sabun cair alami. Larutan ini kemudian dimasukkan ke dalam botol mineral bekas dan beberapa botol semprot kecil agar dapat didistribusikan. Proses ini berlangsung dengan lancar, dan hasil akhir pestisida nabati memiliki aroma khas menyengat dari bawang putih dan jahe, yang dipercaya mampu mengusir serangga dan menghambat pertumbuhan patogen jamur.
Sebagai uji coba lapangan, kami menyemprotkan larutan tersebut ke roti tawar di salah satu sisi dan control di sisi lainnya. Hasil pengamatan menunjukkan adanya penurunan jumlah jamur yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan warna pada permukaan roti. Walaupun tidak dapat diklaim sebagai data statistik ilmiah, uji coba ini memberikan sinyal positif bahwa formula ini layak dikembangkan lebih lanjut.
Selain dari efektivitas, saya juga memperkenalkan konsep keberlanjutan dalam pemanfaatan pestisida nabati. Karena bahan-bahannya mudah diperoleh dan biodegradable, pestisida ini aman dibuang ke lingkungan. Bahkan air cucian wadah larutan masih bisa digunakan untuk menyiram tanaman, karena tidak mengandung senyawa toksik. Ini sangat penting untuk desa seperti Klareyan yang masih memiliki budaya tanam pekarangan dan mengandalkan air sumur.
Dalam kegiatan ini, saya juga membuat video yang kemudian di upload di youtube berisi cara pembuatan, dosis, cara penggunaan, dan catatan penting seperti “jangan gunakan saat hujan” dan “sebaiknya digunakan pagi atau sore hari”. Video ini dapat diakses melalui barcode yang tertera di label kemasan. Walaupun jumlah penyebarannya belum besar, setidaknya informasi ini bisa menyebar secara organik melalui mulut ke mulut.
Saya juga menyempatkan diri melakukan diskusi ringan dengan Ibu Amel, istri Pak Eko yang memiliki kebun kecil di depan rumah. Beliau merasa terbantu dengan adanya informasi ini karena selama ini hanya mengandalkan insektisida semprot beli eceran tanpa tahu bahaya residunya. Beliau tertarik untuk mencoba menggunakan larutan ini pada tanaman tomat miliknya dan akan mencatat perkembangan hasilnya secara mandiri.
Sepanjang pelaksanaan program, saya terus dibimbing oleh Dr. dr. Siti Fatimah, M.Kes. dan Dr. Ir. Fahmi Arifan, S.T., M.Eng., IPM, yang memberikan banyak arahan terkait penyederhanaan istilah biologis agar lebih mudah dipahami masyarakat. Beliau juga mengingatkan agar saya tidak terlalu fokus pada hasil instan, namun pada proses edukasi yang membangun kesadaran ekologis. Saya pun menyusun narasi dokumentatif kegiatan ini sebagai bagian dari laporan sekaligus bahan promosi ke pihak kampus atau desa yang ingin mereplikasi program serupa.
Dalam refleksi pribadi, saya merasa bahwa kegiatan ini memberi pengalaman berharga, terutama dalam menerjemahkan teori biokimia tanaman menjadi praktik sederhana yang berdampak. Saya menyadari bahwa tidak semua masyarakat bisa langsung menerima inovasi baru, sehingga dibutuhkan pendekatan komunikasi yang empatik, demonstrasi yang sabar, serta dokumentasi yang baik. Dari kegiatan ini saya belajar bahwa pengabdian adalah proses membangun jembatan antara ilmu dan kebutuhan lapangan.
Kegiatan ini juga membuka peluang untuk pengembangan produk pestisida nabati berbasis komersial skala kecil. Jika mitra seperti Pak Eko bersedia, produk “Green Shield” dapat dikembangkan sebagai “starter kit” untuk dijual ke komunitas urban farming, yang semakin berkembang di kota-kota besar. Saya bahkan telah membuat label produk prototipe yang bisa dicetak menggunakan printer rumahan, serta mendesain botol semprot berukuran kecil untuk digunakan secara praktis di rumah tangga.
Walau kegiatan ini tidak melibatkan banyak peserta, saya yakin kualitas dampaknya tetap kuat karena dilakukan secara mendalam dan langsung menyasar kebutuhan mitra. Saya berharap program ini dapat terus berkembang melalui kolaborasi mahasiswa lintas jurusan, misalnya dengan tim desain produk, mahasiswa pertanian, dan kesehatan masyarakat. Dengan begitu, program inovasi ini bisa menjadi lebih kuat baik dari sisi keilmuan, desain, maupun kebermanfaatannya.
Sebagai bagian dari pelaporan, saya mendokumentasikan kegiatan dalam bentuk foto, video, dan catatan hasil observasi tanaman uji. Dokumentasi ini akan menjadi lampiran laporan KKN dan akan saya arsipkan secara pribadi untuk pengembangan riset di masa depan. Saya juga menyimpan sisa larutan pestisida untuk digunakan kembali dalam uji coba berikutnya.
Sebagai penutup, saya menyampaikan apresiasi sebesar-besarnya kepada Pak Eko Siswanto atas keterbukaannya sebagai mitra program, serta kepada Dosen Pembimbing Lapangan, Dr. dr. Siti Fatimah, M.Kes. dan Dr. Ir. Fahmi Arifan, S.T., M.Eng., IPM, atas arahan dan motivasinya selama pelaksanaan program. Saya juga berterima kasih kepada warga sekitar yang turut mendukung dengan keterlibatannya, sekecil apa pun. Semoga kegiatan ini menjadi sumbangsih kecil yang berdampak panjang, menjadi langkah awal menuju pertanian rumah tangga yang sehat, mandiri, dan berkelanjutan.
Sebagai pengembangan dari program ini, saya juga mulai menyusun gagasan tentang integrasi pestisida nabati ke dalam sistem pertanian terpadu. Dalam diskusi lanjutan bersama Dosen Pembimbing Lapangan, saya diberi masukan bahwa konsep bioproteksi tanaman tidak seharusnya berdiri sendiri, tetapi menjadi bagian dari rantai sistem pertanian berkelanjutan. Artinya, Green Shield tidak hanya berfungsi sebagai pengendali hama jamur, tetapi juga sebagai langkah awal dalam ekosistem yang lebih sehat—termasuk penggunaan pupuk organik, rotasi tanaman, dan budidaya tanaman pendamping yang mendukung biodiversitas.
Salah satu temuan menarik selama pelaksanaan program ini adalah peran mikroorganisme dalam kestabilan larutan pestisida nabati. Saya menemukan bahwa larutan yang disimpan lebih dari 3 hari mulai mengalami fermentasi ringan, ditandai dengan munculnya gelembung dan aroma menyengat yang berubah. Ini mengindikasikan adanya aktivitas bakteri atau jamur. Saya mencatat perubahan ini sebagai data penting, karena jika tidak dikelola dengan benar, larutan bisa menurunkan efektivitas atau bahkan membahayakan tanaman. Sebagai solusinya, saya menyarankan agar larutan hanya digunakan maksimal dalam waktu 48 jam setelah pembuatan, dan disimpan di tempat sejuk dan tertutup.
Selain itu, saya juga mencoba memadukan Green Shield dengan strategi pengendalian hama berbasis tumbuhan pengusir alami, seperti menanam serai wangi dan kemangi di sekitar kebun sebagai barier biologis. Kombinasi ini menghasilkan efek ganda, yaitu mencegah hama jamur tanaman dan mengurangi ketergantungan terhadap penyemprotan. Saya menyarankan kepada Pak Eko untuk mencoba metode ini di kebun kecilnya secara bertahap, sambil mencatat efek yang dirasakan terhadap kesehatan tanaman.
Melalui semua kegiatan ini, saya menyadari bahwa inovasi bukan sekadar menciptakan produk baru, tetapi bagaimana mengintegrasikan solusi yang ada menjadi sistem yang mudah dijalankan, murah, dan bisa direplikasi. Dalam konteks KKN, kemampuan menyusun sistem seperti ini jauh lebih penting daripada sekadar menyelesaikan satu eksperimen. Saya belajar untuk berpikir dari perspektif masyarakat: apa yang bisa mereka lakukan, bagaimana mereka mengakses bahan, dan bagaimana cara mereka memahami proses.
Saya juga melakukan mini survei non-formal kepada beberapa orang warga sekitar rumah Pak Eko. Saya menanyakan seberapa sering mereka menggunakan pestisida kimia, apakah mereka pernah mendengar tentang pestisida nabati, dan apa tantangan utama yang mereka hadapi dalam pertanian atau kebun mereka. Hasilnya cukup mengejutkan: Sebagian besar responden mengaku belum pernah membuat pestisida sendiri, namun 80% mengeluhkan tingginya biaya pestisida. Mereka juga tertarik mencoba larutan nabati jika tahu cara membuatnya.
Agar lebih profesional, saya juga mendesain label produk yang memuat nama produk dan sebagainya. Langkah-langkah ini saya lakukan sebagai bagian dari edukasi keamanan produk pertanian, sesuai dengan prinsip good agricultural practices (GAP).
Kegiatan KKN ini, khususnya program Green Shield, memberikan ruang belajar yang sangat luas bagi saya secara pribadi. Saya belajar menyusun strategi komunikasi, memetakan potensi lokal, merancang formula, hingga mempraktikkan langsung penggunaan produk ke tanaman. Saya juga belajar bahwa keberhasilan program pengabdian tidak selalu diukur dari banyaknya peserta, tetapi dari sejauh mana pengetahuan itu dipahami, diterapkan, dan dikembangkan oleh mitra sasaran.
Melalui semua pengalaman ini, saya menyadari bahwa mahasiswa tidak hanya datang membawa ilmu, tetapi juga harapan. Harapan bahwa pengetahuan bisa mengubah cara hidup, harapan bahwa keterbatasan bisa diubah menjadi keunggulan, dan harapan bahwa inovasi kecil bisa menjadi pergerakan besar jika dilakukan bersama-sama.
Dalam rangka memperluas manfaat dari program “Green Shield”, saya juga mulai menyusun ide untuk membuat video tutorial singkat berdurasi 2–3 menit yang memperlihatkan langkah-langkah pembuatan pestisida nabati. Video ini dirancang untuk bisa diunggah di platform media sosial seperti YouTube. Saya menyadari bahwa format visual sangat efektif untuk menjangkau audiens yang lebih luas, termasuk generasi muda desa yang lebih akrab dengan teknologi.
Saya pun berdiskusi dengan mitra, Pak Eko, tentang kemungkinan membuat video bersama, dengan narasi yang sederhana dan visual langsung dari dapurnya. Beliau menyambut baik gagasan ini, karena menurutnya, warga cenderung lebih tertarik melihat praktik nyata dibanding membaca selebaran. Rencana ini saya tulis sebagai bagian dari rencana keberlanjutan, jika suatu saat ada mahasiswa KKN lanjutan yang ingin meneruskannya.
Selain itu, saya juga merekomendasikan pada mitra agar menjalin komunikasi dengan perangkat desa, terutama dalam upaya penyebaran informasi melalui program kerja PKK atau posyandu. Kelompok ibu-ibu desa merupakan potensi besar untuk menjadi agen perubahan dalam penggunaan pestisida nabati, terutama karena mereka yang paling dekat dengan urusan dapur, kebun, dan kesehatan keluarga.
Akhirnya, dari keseluruhan proses ini saya belajar bahwa sains dan pengabdian tidak pernah berjalan sendiri. Keduanya harus berjalan bersama, saling melengkapi, dan harus mampu menjangkau ruang-ruang kehidupan sehari-hari masyarakat. “Green Shield” mungkin hanyalah satu larutan herbal sederhana, tetapi ia membawa harapan besar untuk ekosistem pertanian yang lebih sehat dan masa depan desa yang lebih berdaya.
Kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) bukanlah sekadar kewajiban akademik semata, tetapi merupakan panggung nyata bagi mahasiswa untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat, menguji kemampuan adaptasi, dan menerjemahkan ilmu yang didapat di bangku kuliah menjadi solusi konkret yang bermanfaat. Pengalaman ini membentuk karakter, membangun kepekaan sosial, dan memperluas cara pandang terhadap permasalahan masyarakat di akar rumput.
Selama menjalani program ini, saya juga menyadari bahwa desa memiliki dinamika yang khas dan tidak bisa disamakan dengan konteks kota atau wilayah akademik. Keberhasilan program tidak selalu diukur dari parameter ilmiah yang kaku, melainkan dari seberapa relevan, ramah, dan mudah diterima oleh warga setempat. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya ilmiah, tetapi juga empatik dan humanis.
Program seperti “Green Shield” menjadi contoh bagaimana inovasi sederhana bisa diterima masyarakat jika disampaikan dengan cara yang membumi. Tidak perlu alat mahal, tidak perlu laboratorium canggih—yang dibutuhkan adalah kemauan untuk berbagi, keberanian untuk mencoba, dan kesediaan untuk mendengar kebutuhan lokal.
Saya berharap bahwa kegiatan ini tidak berhenti pada laporan semata, tetapi menjadi batu loncatan bagi kolaborasi lebih luas, baik antar mahasiswa, dosen, perangkat desa, maupun pihak luar seperti dinas terkait. Jika pendekatan partisipatif terus dibangun, maka dampak pengabdian akan terus berkembang, menumbuhkan budaya belajar bersama, dan membentuk desa sebagai ruang hidup yang aktif, sehat, dan berkelanjutan.
Pada akhirnya, program ini menjadi bukti bahwa inovasi tidak selalu harus megah atau berbasis teknologi tinggi.
Cukup dengan pemahaman ilmiah yang kuat, kepedulian terhadap lingkungan, dan kemauan untuk berbagi, mahasiswa dapat menghadirkan solusi yang relevan bagi masyarakat. “Green Shield” bukan hanya tentang pestisida alami, tetapi juga simbol dari semangat perlindungan—bagi tanaman, manusia, dan alam. Saya berharap, langkah kecil ini bisa menjadi inspirasi untuk gerakan serupa di tempat lain. Terima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung, khususnya Pak Eko dan Ibu Dr. dr. Siti Fatimah, M.Kes., serta Bapak Dr. Ir. Fahmi Arifan, S.T., M.Eng., IPM.
Comments
Post a Comment