Bergerak Dari Hati, Berbagi Ilmu: Pengalaman Saya Mengedukasi Stunting Dari Sisi Psikologis Di Desa Klareyan
Pemalang, 21 Juli 2025 - Sebagai mahasiswa Psikologi Universitas Diponegoro yang tengah menjalani program Kuliah Kerja Nyata Tematik (KKN-T) di Desa Klareyan, Kecamatan Petarukan, Kabupaten Pemalang, saya merasa mendapat kesempatan yang sangat berharga untuk memberikan kontribusi nyata kepada masyarakat. Salah satu program yang saya gagas dan laksanakan pada Senin, 21 Juli 2025 adalah kegiatan sosialisasi tentang stunting dari sudut pandang psikologis yang diperuntukkan bagi ibu-ibu Posyandu dan pengasuh anak-anak di Desa Klareyan.
Kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah salah satu bentuk nyata dari pengabdian mahasiswa kepada masyarakat.
Ketika saya mendapat penempatan di Desa Klareyan, Pemalang bersama teman-teman KKN-T 123 Universitas Diponegoro, saya langsung sadar bahwa ini bukan hanya soal menjalani program wajib dari kampus, tapi juga soal bagaimana kami bisa benar-benar memberi manfaat dan menjawab kebutuhan nyata yang dihadapi masyarakat.
Kegiatan ini diselenggarakan di Posyandu Desa Klareyan dan dimulai sekitar pukul 10.30 WIB. Sosialisasi ini merupakan bentuk implementasi dari hasil wawancara dengan stakeholder desa yang menyebutkan bahwa angka stunting di desa ini cukup tinggi dan banyak warga yang belum memahami dampak psikologisnya. Dari sinilah saya terdorong untuk membuat buku saku edukasi stunting berjudul "Cegah Stunting, Sayangi Anak Sejak Dini" sebagai media penyampaian informasi. Banyak yang mengira bahwa stunting hanya soal tinggi badan, padahal lebih dari itu, stunting menyentuh aspek-aspek penting dalam perkembangan otak, emosi, dan masa depan anak.
Saya memulai kegiatan dengan memperkenalkan diri dan menjelaskan latar belakang program ini, termasuk bagaimana materi dalam buku saku ini saya susun berdasarkan ilmu psikologi yang saya pelajari di kampus, seperti teori pola asuh dari Diana Baumrind, konsep emotional bonding dari Ikhtiar & Abbas, hingga data dari WHO dan Kementerian Kesehatan. Saya juga menjelaskan bahwa penyusunan buku ini melibatkan arahan dari dosen pembimbing lapangan (DPL) serta kolaborasi dengan teman KKN dari Fakultas Kedokteran.
Buku saku ini terdiri dari 15 halaman dan mencakup berbagai topik penting, mulai dari apa itu stunting, tanda-tanda stunting pada anak, dampak psikologis stunting, pola asuh orang tua, cara menerapkan pola asuh sehat, upaya pencegahan stunting, hingga meluruskan mitos-mitos seputar stunting. Desain buku dibuat sederhana dan menarik, dengan bahasa yang ringan serta ruang catatan di bagian akhir agar mudah digunakan oleh para ibu di rumah.
Sebagai mahasiswa psikologi, saya merasa ini adalah panggilan saya: bagaimana saya bisa membantu dengan bekal ilmu yang saya pelajari di kampus? Dari sinilah saya mulai menyusun ide untuk membuat program edukasi tentang stunting dari sisi psikologis, yang saya kemas dalam bentuk buku saku edukatif.
Menyusun Program dalam Waktu Singkat: Satu Hari yang Penuh Arti
Yang tidak banyak orang tahu adalah bahwa saya menyusun seluruh program ini hanya dalam waktu satu hari. Ya, hanya satu hari. Setelah arahan dari Dosen Pembimbing Lapangan dan menanyakan terkait dengan kegiatan posyandu oleh Ibu-ibu PKK, saya langsung terdorong untuk bertindak cepat. Malam itu saya tidak bisa tidur nyenyak karena pikiran saya terus berputar: bagaimana caranya menyampaikan informasi yang cukup kompleks ini dengan cara yang sederhana dan membumi?
Saya hanya tidur sekitar satu jam malam itu. Selebihnya, saya habiskan waktu untuk membaca ulang materi kuliah, membuka jurnal-jurnal psikologi perkembangan, menyusun poin-poin penting, hingga akhirnya mulai menuliskan dan merancang buku saku yang berjudul “Cegah Stunting, Sayangi Anak Sejak Dini.” Saya ingin membuat sesuatu yang bukan hanya sekadar teoretis, tapi benar-benar bisa dipakai oleh masyarakat desa, terutama para ibu.
Merancang Buku Saku: Dari Ilmu Menjadi Aksi
Saya sadar bahwa banyak ibu-ibu yang mungkin belum familiar dengan istilah-istilah ilmiah atau materi yang bersifat akademis. Oleh karena itu, saya ingin menyusun materi edukasi dalam bentuk yang sederhana, mudah dibawa, dan praktis dibaca kapan saja. Maka lahirlah ide buku saku ini.
Dalam penjelasan saya, saya menekankan bahwa stunting bukan hanya soal tinggi badan yang kurang dari standar, melainkan juga soal gangguan pertumbuhan kronis yang memengaruhi perkembangan otak, emosi, dan kemampuan belajar anak. Saya menggunakan analogi dan contoh sehari-hari agar materi lebih mudah dipahami. Misalnya, saya mengajak ibu-ibu untuk membayangkan bagaimana anak yang terlihat sehat tapi ternyata sulit fokus di sekolah, mudah marah, atau pemalu karena merasa berbeda dari teman-temannya.
Buku ini terdiri dari 15 halaman dan disusun dengan bahasa sehari-hari yang mudah dipahami. Di dalamnya, saya masukkan materi yang mencakup:
Kata Pengantar
Daftar Isi
Pendahuluan
Apa Itu Stunting?
Tanda-Tanda Anak Mengalami Stunting
Dampak Psikologis Stunting
Pola Asuh Orang Tua dan Kaitannya dengan Stunting
Macam-Macam Pola Asuh
Cara Menerapkan Pola Asuh Sehat untuk Anak Stunting
Cara Mencegah Stunting Secara Umum
Mitos vs Fakta tentang Stunting
Halaman Catatan untuk Ibu-Ibu
Materi ini tidak saya buat secara asal. Saya menyusunnya berdasarkan materi psikologi perkembangan anak yang telah saya pelajari di kampus, seperti teori pola asuh dari Diana Baumrind, teori emotional bonding dari Ikhtiar & Abbas, serta referensi dari WHO dan Kementerian Kesehatan. Tak hanya itu, saya juga mendapat arahan dari dosen pembimbing lapangan (DPL) untuk menggabungkan pendekatan psikologis ini dengan pendekatan medis dari teman-teman KKN yang berasal dari Fakultas Kedokteran.
Hari yang Dinanti: Sosialisasi di Posyandu
Senin, 21 Juli 2025 adalah hari yang sangat saya tunggu-tunggu. Pagi itu, saya dan beberapa teman menyiapkan peralatan untuk sosialisasi. Kegiatan dimulai sekitar pukul 10.30 WIB di Posyandu Desa Klareyan, dengan peserta utama yaitu para ibu rumah tangga, kader Posyandu, serta pengasuh anak-anak.
Saya membuka kegiatan dengan menceritakan sedikit latar belakang mengapa saya membuat buku saku ini. Saya mencoba berbicara dengan santai dan membumi, karena saya tahu, edukasi akan lebih mudah diterima jika disampaikan dengan hati dan empati, bukan hanya data dan teori. Respon ibu-ibu sangat baik. Banyak dari mereka yang baru pertama kali mendengar bahwa stunting tidak hanya berdampak pada tinggi badan, tetapi juga bisa memengaruhi kemampuan belajar anak, kepercayaan diri, serta kemampuan bersosialisasi.
Mengenal Stunting: Lebih dari Sekadar Tinggi Badan
Dalam sesi ini saya menjelaskan bahwa stunting adalah masalah kekurangan gizi kronis, terutama selama 1.000 hari pertama kehidupan. Ini bukan cuma soal tubuh yang pendek, tapi juga soal bagaimana otak berkembang, bagaimana anak memproses emosi, dan bagaimana mereka menjalani kehidupan di masa depan.
Stunting bisa dikenali lewat tanda-tanda seperti tinggi badan anak yang lebih pendek dari anak seusianya, wajah yang terlihat lebih muda, berat badan stagnan, anak mudah sakit, dan terkadang status gizinya bisa tampak “normal” padahal sebenarnya terhambat pertumbuhannya. Saya menekankan bahwa stunting berbeda dengan gizi buruk. Anak stunting belum tentu kurus, tapi ada gangguan dalam pertumbuhan jangka panjang.
Dampak Psikologis Stunting
Ini adalah bagian yang menjadi fokus utama saya. Saya menjelaskan bahwa anak yang mengalami stunting bisa mengalami keterlambatan dalam perkembangan otak, lambat tangkap, susah konsentrasi, dan bahkan kesulitan dalam komunikasi. Mereka juga lebih rentan terhadap gangguan emosi seperti cemas, sedih, hingga rendah diri.
Anak yang tubuhnya kecil sering kali merasa minder ketika harus bersosialisasi dengan teman sebayanya. Ketika ia merasa berbeda, kepercayaan dirinya akan menurun, dan ini bisa berlanjut hingga remaja atau dewasa.
Pola Asuh dan Peran Orang Tua
Saya menyampaikan bahwa stunting bukan hanya karena faktor gizi, tetapi juga karena pola asuh yang kurang optimal. Saya menjelaskan empat pola asuh dari Baumrind:
Demokratis – Penuh kasih tapi tetap tegas. Anak diajak diskusi dan diberikan batasan yang jelas.
Otoriter – Kaku, banyak aturan, tapi minim pelukan dan dialog. Anak bisa jadi takut dan stres.
Permisif – Semua dituruti, anak tidak belajar disiplin.
Mengabaikan – Anak dibiarkan sendiri tanpa stimulasi atau perhatian.
Pola asuh yang sehat sangat penting untuk menghindari stunting dan gangguan perkembangan lainnya.
Tips Menerapkan Pola Asuh Sehat
Saya membagikan tips-tips sederhana yang bisa langsung dilakukan:
Penuhi kebutuhan gizi dan kasih sayang.
Ajak anak bicara, bermain, dan membaca.
Berikan batasan yang jelas tapi tetap dengan cinta.
Dengarkan keluh kesah anak dan validasi perasaannya.
Libatkan anak dalam aktivitas rumah tangga agar mereka merasa dihargai.
Cara Mencegah Stunting
Saya juga menyampaikan bahwa stunting bisa dicegah dengan:
Asupan gizi seimbang sejak hamil hingga usia 2 tahun.
Pola asuh yang mendukung dan penuh perhatian.
Menjaga kebersihan lingkungan dan air bersih.
Saya menggunakan ilustrasi dan bahasa yang ringan, agar ibu-ibu bisa langsung memahami dan mengingatnya.
Mitos vs Fakta
Dalam sesi penutup kegiatan sosialisasi, saya menyampaikan bagian yang menurut saya sangat penting namun sering kali terlewat: meluruskan mitos-mitos yang keliru seputar stunting. Saya tahu bahwa pengetahuan masyarakat bukan hanya dibentuk oleh apa yang mereka pelajari secara formal, tapi juga dari obrolan sehari-hari, cerita dari tetangga, bahkan apa yang sudah dipercaya turun-temurun. Karena itu, saya merasa penting untuk menyampaikan beberapa mitos umum yang selama ini diyakini sebagian besar masyarakat agar tidak terus diwariskan ke generasi berikutnya.
Mitos 1: "Stunting itu turunan, jadi wajar kalau anak saya pendek seperti saya."
Fakta: Stunting bukan karena keturunan. Anak bisa saja memiliki orang tua bertubuh pendek, tapi jika gizinya terpenuhi dan pola asuhnya baik, tumbuh kembangnya tetap bisa optimal.
Mitos 2: "Anak yang kurus dan kecil itu biasa, nanti juga akan tumbuh sendiri saat besar."
Fakta: Kalau anak sudah mengalami stunting, dampaknya bisa permanen. Masa emas pertumbuhan (1000 Hari Pertama Kehidupan) tidak bisa diulang, jadi harus dicegah sejak dini.
Mitos 3: "Yang penting anak kenyang, tidak perlu makanan bergizi."
Fakta: Kenyang bukan berarti cukup gizi. Anak butuh protein, vitamin, mineral, dan zat gizi lainnya untuk tumbuh sehat, bukan hanya karbohidrat seperti nasi saja.
Mitos 4: "Stunting hanya soal tinggi badan."
Fakta: Stunting bukan hanya soal tubuh pendek. Anak yang stunting bisa mengalami gangguan perkembangan otak, kesulitan belajar, dan mudah sakit karena daya tahan tubuhnya rendah.
Mitos 5: "Stunting hanya terjadi saat anak sudah lahir."
Fakta: Stunting bisa dimulai sejak bayi masih di dalam kandungan. Gizi ibu hamil dan menyusui sangat memengaruhi tumbuh kembang anak.
Mitos 6: "Kalau anak tidak mau makan, ya dibiarkan saja."
Fakta: Anak yang susah makan tetap harus dibimbing dengan sabar. Cari variasi makanan, buat suasana makan menyenangkan, dan tetap perhatikan asupan gizinya.
Bahkan ada yang menanyakan hal-hal lain seperti, “Mba mau tanya, teh manis boleh nggak dikasih ke anak? Katanya teh bikin stunting?” Teman saya yang bernama El dari Teknologi Pangan membantu menjawab bahwasanya teh, jika dikonsumsi berlebihan, bisa menghambat penyerapan zat besi yang dibutuhkan tubuh anak.
Pertanyaan lain datang dari seorang ibu yang mengeluh, “Anak saya susah banget lepas dari HP, jadi nggak mau main atau belajar.” Saya menyarankan pendekatan komunikasi yang lembut dan pemberian aktivitas menarik lain sebagai alternatif screen time.
Refleksi: Saya yang Belajar dari Mereka
Jujur, sebelum kegiatan ini, saya sempat ragu apakah saya bisa menyampaikan materi ini dengan baik. Tapi ternyata, ketika kita menyampaikan dengan hati, maka ilmu pun akan lebih mudah diterima. Saya belajar banyak dari para ibu di Desa Klareyan. Mereka penuh semangat, punya rasa ingin tahu tinggi, dan benar-benar peduli dengan tumbuh kembang anak-anak mereka. Saya juga merasa senang bisa menggabungkan ilmu yang saya pelajari di kampus dengan kebutuhan nyata di masyarakat. Sosialisasi ini mungkin hanya satu kegiatan kecil, tapi saya percaya bahwa dampak edukasi yang sederhana bisa sangat berarti jika dilakukan dengan niat yang tulus dan cara yang tepat.
Saya belajar bahwa mendidik bukan hanya soal mengajar, tapi juga tentang mendengar. Tentang hadir sepenuh hati. Saya mungkin hanya tidur satu jam untuk menyiapkan program ini, tapi melihat wajah-wajah semangat para ibu membuat semua lelah saya terbayar lunas.
Harapan Saya ke Depan
Kegiatan ini ditutup dengan sesi tanya jawab dan diskusi ringan. Saya merasa sangat terharu melihat antusiasme para ibu, terutama ketika mereka mulai menyadari bahwa tugas menjadi orang tua tidak hanya memberi makan, tetapi juga mencintai dengan cara yang sehat dan mendidik dengan penuh perhatian. Secara pribadi, kegiatan ini menjadi salah satu pengalaman paling bermakna selama saya menjalani KKN. Saya juga belajar bahwa mengedukasi masyarakat bukan tentang menggurui, tapi mengajak mereka untuk memahami dan bergerak bersama.
Saya berharap, ke depan buku saku ini bisa menjadi inspirasi dan bekal informasi, tidak hanya bagi ibu-ibu di Desa Klareyan, tetapi juga di desa lain yang menghadapi permasalahan serupa. Saya juga berharap kegiatan ini bisa menjadi pemicu program lanjutan yang lebih kolaboratif dan berkelanjutan. Karena pada akhirnya, stunting bukan hanya urusan tinggi badan anak, tapi juga urusan masa depan bangsa. Dan saya bersyukur, bisa mengambil bagian kecil dalam upaya besar ini.
Saya memiliki harapan semoga anak-anak Indonesia bisa tumbuh tanpa hambatan. Tanpa gangguan gizi, tanpa hambatan perkembangan, tanpa rasa minder karena tubuhnya lebih kecil dari teman-temannya karena setiap anak berhak tumbuh sehat, cerdas, dan bahagia. Dan kita semua punya peran untuk mewujudkannya.
Salam hangat dari Desa Klareyan,
Dari saya yang belajar, berbagi, dan tumbuh bersama para ibu. (Eko B Art).
Sumber : Mahasiswa KKN-T 123 Universitas Diponegoro, Desa Klareyan – Pemalang
Comments
Post a Comment