Bekatul Naik Kelas, "Edukasi Gizi dan Kewirausahaan Kreatif Melalui Inovasi Cookies Tinggi Serat dari Dapur Desa”
Pada pertengahan Juli 2025, sebuah kelompok mahasiswa dari program Kuliah Kerja Nyata (KKN) melakukan observasi lapangan di desa ini. Dalam agenda kunjungan tersebut, mereka didampingi Kepala Dusun 1, Romadhon, yang mengajak berkeliling wilayah setempat, memperlihatkan beragam aktivitas warga, termasuk proses penggilingan padi. Di area penggilingan, pemandangan tumpukan sekam dan bekatul menarik perhatian. Meski selama ini telah dimanfaatkan secara terbatas, bahan-bahan tersebut sesungguhnya memiliki potensi yang lebih besar.
Bekatul, misalnya, merupakan lapisan aleuron yang menempel pada bagian luar butir beras. Secara kimiawi, bahan ini mengandung protein, serat, vitamin B kompleks, serta sejumlah mineral penting. Di banyak negara maju, bekatul telah lama diproses menjadi produk pangan bernilai tinggi seperti sereal, minuman kesehatan, hingga bahan tambahan dalam industri roti. Namun, di sebagian besar pedesaan Indonesia, pemanfaatannya masih minim karena keterbatasan informasi dan teknologi.
Melihat potensi tersebut, para mahasiswa peserta KKN mencoba mengenalkan inovasi sederhana: mengolah bekatul menjadi produk makanan modern yang mudah diterima oleh masyarakat. Salah satu bentuk yang dipilih adalah cookies—kue kering yang populer dan memiliki pasar luas. Ide ini diharapkan tidak hanya memperkenalkan pemanfaatan limbah pertanian secara lebih maksimal, tetapi juga membuka peluang usaha berskala rumah tangga dengan modal terjangkau.
Kegiatan sosialisasi kemudian direncanakan dan dilaksanakan pada Kamis, 24 Juli 2025, bertempat di rumah salah satu warga RT 07, Dusun 1. Acara ini dihadiri oleh sejumlah ibu rumah tangga setempat. Mereka datang tidak hanya untuk melihat proses pembuatan cookies bekatul, tetapi juga untuk mempelajari potensi ekonominya.
Sejak pagi, suasana rumah warga yang dijadikan lokasi kegiatan terasa ramai. Bahan-bahan telah disiapkan: bekatul halus hasil ayakan, gula, margarin, telur, serta sedikit tepung terigu sebagai penyeimbang tekstur. Peralatan yang digunakan pun sederhana, mulai dari baskom untuk mencampur adonan hingga oven kecil berbahan bakar gas yang umum dimiliki warga.
Pada awal kegiatan, sebagian peserta mengaku belum pernah mencoba mengolah bekatul untuk konsumsi manusia. Bagi mereka, bahan ini identik dengan pakan ayam atau bebek. Namun, rasa ingin tahu membuat mereka bersedia mengikuti setiap tahapan. Panduan diberikan secara bertahap: pertama, bekatul diayak agar lebih lembut; kedua, bahan kering dicampur rata; kemudian margarin dan telur ditambahkan untuk membentuk adonan. Adonan tersebut dibentuk menjadi bulatan kecil dan dipanggang hingga berwarna kecokelatan.
Proses yang sederhana tersebut memunculkan antusiasme tersendiri. Beberapa peserta bergantian mengaduk adonan, sementara yang lain membantu menyiapkan loyang. Percakapan ringan mengalir, membahas pengalaman memasak, resep tradisional, hingga kemungkinan menjual produk jika rasanya memadai.
Sekitar 20 menit kemudian, aroma harum mulai tercium dari oven. Cookies yang dipanggang perlahan berubah warna menjadi cokelat keemasan. Begitu loyang dikeluarkan, semua peserta tampak penasaran. Potongan pertama segera dicicipi, menghasilkan reaksi positif.
“Rasanya enak, legit, dan tidak seperti yang saya bayangkan sebelumnya,” ujar salah satu peserta, Ibu Santi. Pernyataan tersebut diamini oleh Ibu Sri yang menambahkan, “Kalau dibuat seperti ini, bekatul ternyata bisa menjadi bahan makanan, bukan hanya untuk ternak.”
Komentar tersebut memicu diskusi mengenai manfaat gizi bekatul. Dijelaskan bahwa bahan ini mengandung protein lebih tinggi dan karbohidrat lebih rendah dibanding tepung terigu. Kandungan seratnya juga baik untuk pencernaan dan dapat membantu menjaga kadar gula darah. Informasi ini menambah keyakinan beberapa peserta bahwa cookies bekatul dapat dikembangkan sebagai alternatif camilan sehat.
Selain membahas aspek kesehatan, sesi sosialisasi juga menyinggung peluang usaha. Dengan modal yang relatif kecil, cookies bekatul dapat diproduksi di rumah dan dijual di pasar lokal, warung, atau bahkan melalui media sosial. Harga bekatul yang murah membuat biaya produksi lebih rendah, sementara nilai jual produk olahan bisa lebih tinggi.
“Jika dikemas dengan baik dan diberi label, produk ini bisa bersaing. Apalagi sekarang banyak orang mencari camilan yang lebih sehat,” ujar salah satu mahasiswa dalam sesi tanya jawab.
Kegiatan yang awalnya hanya direncanakan sebagai pelatihan singkat berkembang menjadi ajang bertukar ide. Beberapa ibu mulai membicarakan kemungkinan membentuk kelompok usaha bersama. Mereka menyadari bahwa pemanfaatan limbah pertanian bukan hanya soal mengurangi sampah, tetapi juga tentang menciptakan nilai tambah ekonomi bagi desa.
Kegiatan pelatihan pembuatan cookies bekatul di Dusun 1, Desa Klareyan, tidak hanya berhenti pada proses memasak. Setelah sesi mencicipi, pembahasan beralih pada langkah-langkah lanjutan untuk menjadikan inovasi ini lebih berkelanjutan. Para peserta berdiskusi mengenai ketersediaan bahan baku, teknik pengolahan yang lebih higienis, serta strategi pemasaran sederhana.
Bekatul yang dihasilkan dari penggilingan padi di desa ini terbilang cukup melimpah. Setiap musim panen, volume bekatul yang dihasilkan mencapai puluhan kilogram per hari. Selama ini sebagian kecil digunakan untuk pakan unggas, sementara sisanya hanya ditumpuk di dekat mesin penggilingan. Dengan pasokan yang stabil dan harga yang rendah, bahan ini berpotensi menjadi komoditas tambahan bagi warga, terutama bila diolah menjadi produk bernilai ekonomi lebih tinggi.
Para peserta sosialisasi mulai menyadari potensi tersebut. Beberapa ibu bahkan mengajukan pertanyaan teknis terkait penyimpanan bekatul agar tidak cepat tengik. Penjelasan diberikan bahwa bekatul sebaiknya segera diolah atau disangrai ringan untuk memperpanjang daya simpannya. Selain itu, penggunaan wadah kedap udara juga membantu menjaga kualitas.
Selain masalah teknis, pembicaraan juga menyentuh aspek bisnis. Di desa yang mayoritas warganya bergantung pada sektor pertanian, tambahan sumber pendapatan sangat berarti. Produk cookies bekatul dapat dijual dalam kemasan kecil di warung-warung sekitar desa. Jika kualitas terjaga, tidak menutup kemungkinan distribusinya dapat diperluas hingga ke pasar kecamatan atau bahkan secara daring.
“Dengan modal tidak lebih dari seratus ribu rupiah, kita sudah bisa memproduksi beberapa toples cookies. Jika dijual dengan harga terjangkau, keuntungan bisa diputar kembali untuk produksi berikutnya,” jelas salah satu mahasiswa yang mendampingi kegiatan.
Antusiasme peserta semakin terlihat. Ibu-ibu yang semula hanya datang untuk melihat, mulai mengusulkan ide-ide kreatif: menambahkan rasa cokelat, kacang, atau vanila, menggunakan cetakan berbentuk menarik, hingga membuat kemasan berwarna cerah agar tampak lebih modern. Bagi mereka, produk ini tidak hanya menjadi camilan sehat, tetapi juga peluang usaha yang dapat dilakukan tanpa mengganggu pekerjaan sehari-hari.
Kepala Dusun 1, Romadhon, yang turut hadir dalam kegiatan tersebut, menyampaikan apresiasinya. Ia menilai program ini selaras dengan upaya desa untuk mengoptimalkan potensi lokal. Menurutnya, pemberdayaan masyarakat berbasis bahan baku yang tersedia di sekitar mereka adalah langkah nyata menuju kemandirian ekonomi.
“Selama ini kami fokus pada produksi beras sebagai sumber utama pendapatan. Namun, inovasi seperti ini membuka wawasan bahwa limbah dari penggilingan pun bisa bernilai. Jika warga bisa memanfaatkan bekatul menjadi produk yang laku di pasaran, tentu akan menambah kesejahteraan,” ungkap Romadhon.
Diskusi berlanjut hingga siang hari. Beberapa peserta mencatat resep, sementara yang lain mencoba membuat adonan kedua untuk melatih kembali proses yang baru saja mereka pelajari. Kegiatan sederhana tersebut menciptakan suasana kebersamaan. Tidak ada jarak antara mahasiswa, aparat desa, dan warga. Semua terlibat aktif, saling berbagi peran, dan bekerja sama hingga cookies batch kedua selesai dipanggang.
Hasilnya konsisten: aroma harum memenuhi ruangan, tekstur cookies tetap renyah, dan rasanya disukai hampir semua peserta. Beberapa ibu bahkan meminta untuk membawa pulang beberapa potong untuk diperlihatkan kepada keluarga di rumah.
Selain aspek teknis, kegiatan ini juga menumbuhkan rasa percaya diri bagi warga. Mereka menyadari bahwa inovasi tidak selalu memerlukan teknologi rumit atau investasi besar. Dengan memanfaatkan bahan yang tersedia di sekitar, ditambah sedikit kreativitas, mereka dapat menciptakan produk baru yang memiliki nilai ekonomi dan kesehatan.
Setelah sesi praktik berakhir, mahasiswa KKN memberikan materi singkat tentang manfaat gizi bekatul berdasarkan hasil penelitian. Disampaikan bahwa bekatul mengandung antioksidan alami seperti oryzanol, yang diketahui dapat membantu menurunkan kadar kolesterol. Kandungan seratnya yang tinggi juga bermanfaat untuk menjaga kesehatan pencernaan dan mengontrol gula darah. Informasi tersebut membuat para peserta semakin yakin bahwa cookies bekatul dapat diposisikan sebagai produk camilan sehat.
Di sisi lain, mereka juga menyadari pentingnya edukasi konsumen. Karena bekatul selama ini dikenal sebagai pakan ternak, akan ada tantangan dalam mengubah persepsi masyarakat luas. Dibutuhkan upaya komunikasi yang tepat, termasuk pemberian informasi yang jelas pada label kemasan, penyampaian manfaat gizi, serta pemberian contoh produk agar calon pembeli bisa merasakan kualitasnya.
Kegiatan sosialisasi ditutup dengan sesi foto bersama. Beberapa ibu membawa pulang cookies dalam wadah sederhana, sementara mahasiswa berjanji akan memberikan panduan tertulis agar proses pembuatan bisa diulang di rumah masing-masing.
Kepala dusun menegaskan akan mendukung jika warga ingin melanjutkan program ini, termasuk membantu dalam koordinasi dan penyediaan tempat untuk produksi skala kecil.
Setelah kegiatan sosialisasi tersebut, pembicaraan tentang cookies bekatul mulai menyebar di kalangan warga Desa Klareyan, khususnya di Dusun 1. Beberapa ibu yang hadir dalam pelatihan menceritakan pengalaman mereka kepada tetangga, menunjukkan hasil cookies yang dibawa pulang, dan menjelaskan proses pembuatannya. Respon yang muncul beragam, mulai dari rasa penasaran hingga keinginan untuk ikut mencoba.
Dampak paling nyata terlihat pada munculnya inisiatif kecil-kecilan. Beberapa rumah tangga mulai mengumpulkan bekatul dari penggilingan setempat. Mereka menjemur, mengayak, lalu menyimpannya dalam wadah tertutup. Meski masih dalam skala terbatas, langkah ini menandakan adanya perubahan pandangan terhadap bahan yang sebelumnya dianggap tidak bernilai. Kini, bekatul dilihat sebagai potensi tambahan yang bisa diolah menjadi produk pangan rumah tangga.
Dari sisi ekonomi, pemanfaatan bekatul untuk cookies memberikan peluang baru. Perhitungan sederhana menunjukkan bahwa untuk memproduksi sekitar 50 potong cookies, dibutuhkan kurang lebih 150 gram bekatul, satu butir telur, 50 gram margarin, dan sedikit gula. Dengan harga bekatul yang sangat rendah—sering kali bahkan tersedia gratis jika diambil langsung dari penggilingan—biaya produksi menjadi jauh lebih murah dibanding cookies berbasis tepung terigu. Apabila dijual dengan harga pasar yang wajar, margin keuntungan yang dihasilkan cukup menarik, terutama jika dilakukan secara rutin.
Namun, potensi ini juga memerlukan pendampingan lebih lanjut. Proses pengolahan harus memenuhi standar kebersihan agar produk aman dikonsumsi. Selain itu, diperlukan pelatihan tambahan mengenai pengemasan, penentuan label, serta manajemen sederhana untuk menghitung biaya dan keuntungan. Langkah-langkah ini penting agar upaya pemberdayaan tidak berhenti pada tahap percobaan, tetapi bisa berkembang menjadi kegiatan ekonomi yang berkelanjutan.
Dari perspektif kesehatan masyarakat, inovasi cookies bekatul juga membawa manfaat lain. Kandungan serat yang tinggi dapat membantu memperbaiki pola konsumsi warga yang selama ini cenderung didominasi makanan berkarbohidrat tinggi dan rendah serat. Dengan edukasi yang tepat, produk ini dapat menjadi salah satu alternatif camilan yang lebih sehat, terutama bagi anak-anak dan lansia.
Kepala Dusun Romadhon menyatakan kesiapannya untuk mendukung program lanjutan. Menurutnya, keberhasilan kegiatan awal menunjukkan bahwa warga memiliki minat, tinggal bagaimana memfasilitasi agar mereka dapat memproduksi dalam skala lebih besar. Ia juga melihat potensi kerja sama dengan kelompok tani dan penggilingan padi yang ada di desa, sehingga distribusi bahan baku lebih teratur.
Di luar aspek teknis, kegiatan ini memperlihatkan nilai penting kolaborasi antara dunia akademik dan masyarakat. Mahasiswa membawa pengetahuan ilmiah serta ide-ide inovatif, sementara warga menyumbangkan pengalaman praktis dan pemahaman tentang kebutuhan lokal. Ketika keduanya bertemu, lahirlah solusi yang relevan dan dapat langsung diterapkan.
Pendekatan seperti ini sejalan dengan semangat pembangunan berbasis potensi lokal: memanfaatkan apa yang tersedia di desa untuk meningkatkan kesejahteraan warganya sendiri, bukan sekadar mengandalkan produk dari luar. Jika program ini dapat diperluas ke dusun lain di Desa Klareyan, bukan tidak mungkin cookies bekatul menjadi salah satu produk unggulan desa.
Selain cookies, bekatul sebenarnya memiliki banyak kemungkinan pengolahan lain. Di daerah lain, bahan ini sudah diolah menjadi minuman instan, roti, hingga bubur bayi. Artinya, inovasi yang dimulai dari cookies dapat menjadi pintu masuk bagi pengembangan produk turunan lain di masa mendatang.
Keberhasilan awal ini juga menunjukkan bahwa perubahan tidak selalu harus dimulai dari proyek besar. Terkadang, langkah kecil yang sederhana justru mampu memicu transformasi lebih luas. Dalam konteks Desa Klareyan, memanfaatkan bekatul untuk cookies bukan hanya tentang menciptakan camilan baru, tetapi tentang mengubah cara pandang masyarakat terhadap sumber daya di sekitar mereka.
Seiring waktu, jika inovasi ini didukung oleh pendampingan yang konsisten, potensi dampaknya dapat lebih jauh lagi:
Ekonomi: menciptakan sumber penghasilan tambahan bagi keluarga.
Sosial: memperkuat kerja sama antarwarga melalui kegiatan produksi bersama.
Lingkungan: mengurangi limbah pertanian yang tidak termanfaatkan.
Kesehatan: meningkatkan akses masyarakat terhadap pangan yang lebih bergizi.
Penutupan kegiatan sosialisasi di RT 07 berakhir dengan suasana akrab. Para ibu pulang membawa semangat baru, sementara para mahasiswa merasakan pengalaman berharga tentang bagaimana ilmu yang mereka pelajari di bangku kuliah dapat diterapkan secara nyata di lapangan.
Harapan terbesar dari program ini adalah agar inovasi sederhana tersebut tidak berhenti pada satu kali percobaan, tetapi dapat berkembang menjadi gerakan lokal yang berkelanjutan. Dengan dukungan pemerintah desa, kelompok masyarakat, dan mungkin mitra dari luar, cookies bekatul berpotensi menjadi salah satu produk unggulan Desa Klareyan—simbol perpaduan antara tradisi pertanian yang kuat dan inovasi generasi muda.
Penulis : Jeni Laura Tesalonika. (Eko B Art).
Comments
Post a Comment